Rabu, 07 Desember 2016

makalah antropologi



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Antropologi adalah suatu ilmu sosial yang pemaparannya mengenai sejarah pembentukan antropologi tetapi tetap penting untuk dibicarakan. Kebanyakan pengertian antropologi sependapat bahwa muncul dan berkembangnya antropologi sebagai cabang keilmuan yang jelas batasannya pada manusia pertengahan abad kesembilan. Setiap antropolog dan ahli sejarah berhak dan memiliki alasan sendiri-sendiri untuk menentukan kapan antropologi dimulai[1].

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah antropologi menurut berbagai ahli?
2.      Bagaimana perkembangan antropologi sebagai ilmu?


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Antropologi
Sejarah perkembangan antropologi menurut Koentjaraningrat. Beliau berpendapat perkembangan antropologi ada empat fase, yaitu :
a.       Fase pertama, sebelum 1800
Dari akhir abad ke-15 dan pada awal abad ke-16, suku-suku Asia Afrika, Amerika, dan Oseania kedatangan bangsa Eropa Barat kurang lebih 4 abad. Orang-orang Eropa yang datang dari berbagai kalangan atau pekerjaan. Mereka mulai menrbitkan buku-buku tentang perjalanan yang mereka alami dan pengalaman mereka tentang  kunjungan mereka di berbagai bangsa. Dalam buku mereka di deskripsikan tentang adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa, dan ciri-ciri fisik yang ada di bangsa yang mereka kunjungi. Deskripsi itu disebut sebagai “etnografi” yaitu dari kata etnos berarti bahasa.
b.      Fase kedua, kira-kira pertengahan abad ke-19  
Awal abad ke-19 sudah ada usaha untuk mengintregasikan secara serius beberapa karangan yang membahas tentang masyarakat dan kebudayaan di dunia berbagai evolusi.masyarakat dan kebudayaan yang ada di dunia menyangkut masyarakat “primitiv” yang tingkat evolusinya sangat lambat maupun yang sudah dianggap maju. Pada semanusiar 1860, lahirlah antropologi setelah ada beberapa karangan yang  klafikasikan bahan-bahan mengenai berbagai kebudayaan di dunia yang berbagai tingkat evolusi.
c.       Fase ketiga, awal abad ke-20
Pada awal abad ke-20, bangsa eropa sudah memantapkan kekuasaannya di daerah yang sudah dijajah. Pada fase ini mulai ada anggapan bahwa mempelajari bangsa-bangsa non Eropa ternyata makin penting karena masyarakat tersebut umumnya sekompleks bangsa-bangsa Eropa. Memahami mengenai masyarakat yang tidak kompleks, maka hal itu akan menambah pemahaman tentang masyarakat yang kompleks.
d.      Fase keempat, sesudah kira-kira 1930
Pada fase ini antropologi berkembang pesat dan lebih berorientasi akademik. Perkembangannya meliputi ketelitian bahan pengetahuannya maupun metode-metode ilmiahnya. Di lain pihak muncul pula sikap anti kolonialisme dan gejala makin berkurangnya bangsa-bangsa primitive.setelah Perang Dunia II, menyebabkan antropologi kehilangan lapangan. Karena itu para ahli antropologi pada tahun 1930, sasaran dan objek penelitian beralih dari suku primitive non eropa ke penduduk pedeasaan, termasuk daerah-daerah pedesaan Eropa dan Amerika. Perkembangan pada fase ini ditandai dengan symposium internasional pada tahun 1950-an.
Pada fase keempat ini antropologi memiliki dua tujuan utama, yaitu :
1.      Tujuan akademis, untuk mencapai pemahaman tentang manusia berdasarkan bentuk fisik, masyarakat dan kebudayaannya.
2.      Tujuan praktis, untuk kepentingan pembangunan[2].
B.     Perkembangan Antropologi
Disiplin ilmu antropologi merupakan produk peradaban Barat yang relatif baru. Dalam sejarah lahirnya, perkembangan ilmu tersebut melalui suatu tahapan panjang[3]. Lambannya perkembangan antropologi dikarenakan keterbatasan teknologi yang dimiliki oleh manusia. Hampir sepanjang sejarahnya, cakrawala geografis manusia sangat terbatas. Tanpa adanya sarana untuk mengadakan perjalanan ke tempat-tempat yang jauh di dunia., observasi tentang kebudayaan dan orang-orang yang jauh dari tempat tinggalnya sulit – kalau tidak mustahil – untuk di kerjakan. Biasanya tidak banyak orang yang mempunyai kesempatan khusus untuk mengadakan perjalanan. Studi tentang bangsa-bangsa dan kebudayaan asing tidak dapat diharapkan berkembang sebelum cara-cara transportasi dan kominikasi yang memadai dapat dikembangkan.
Dengan ini tidak dimaksudkan bahwa orang tidak pernah menyadari tentang adanya bangsa-bangsa lain di dunia, yang roman mukanya dan perilakunya berbed dengan mereka sendiri.
 Unsur lain yang penting, yang ikut menyebabkan lambannya perkembangan ilmu antropologi adalah kegagalan orang Eropa untuk melihat bahwa mereka dan bangsa-bangsa di daerah lain memiliki seifat kemanusiaan yang sama. Masyarakat yang tidak berpegang kepada nilai-nilai pokok kebudayaan Eropa dianggap “buas” atau “biadab”. Baru pada akhir abad ke delapan belas cukup banyak orang Eropa berpendapat bahwa prilaku bangsa-bangsa asing itu sama sekali relevan untuk memahami diri mereka sendiri. Kesadaran tentang keanekaragaman umat manusia itu, yang datang pada waktu orang lebih banyak berusaha menerangkan segala sesuatu berdasarkan hukum alam, menimbulkan kesangsian tentang mitologi injil yang tradisional, yang tidak memberi “keterangan” yang mamadai lagi tentang keanekaragaman manusia. Dari pemikiran ulang yang kemudian terjadi, timbullah kesadaran bahwa studi tentang bangsa-bangsa “biadab” itu adalah studi tentang umat manusia seluruhnya[4].
Koentjaraningrat memaparkan bahwa keberadaan lembaga-lembaga etnologi merupakan awal lahirnya antropologi. Lembaga Societe Etnologuque yang didirikan di Paris tahun 1839 oleh cendekiawan M. Edwards, merupakan lembaga yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal munculnya disiplin ilmu Antropolgi.
Di London terdapat The Ethnological Society yang didirikan oleh tokoh anti perbudakan T. Hodgking. Tujuan didirikannya lembaga ini adalah menjadi pusat pengumpulan data dan studi bahan-bahan etnologi yang berasal dari berbagai kebudayaan di dunia. Dua puluh lima tahun kemudian terbitlah buku yang memuat pedoman dalam mengumpulkan etnolografi secara teliti.
Etnologi sacara resmi diakui dalam dunia perguruan tinggi di Inggris dengan diadakannya mata kuliah dan dosen pertama antropologi. Tylor adalah seorang ahli arkeologi yang mendapatkan pendidikan sastra tentang peradaban Yunani dan Romawi kuno. Tylor banyak berjasa dalam upaya mengembangkan Antropologi. Taylor mempunyai banyak karya tentang antropologi. Disamping itu, ia menulis tentang evolusi keluarga dalam salah satu bukunya. Ia mengemukakan bahwa keluarga berevolusi dari sistem matriarchate ke tingkat patriarchate.


[1]Misbah Zulfa Elizabeth, Antropologi Kajian Budaya Dan Dinamikanya,CV. Karya Abadi Jaya, Semarang,2015,hal.18
[2]Ibid.hal.19-21
[3]Ibid.hal.21
[4]William A. Haviland,Antropologi,Erlangga,Jakarta,1999,hal. 9

makalah fiqh siyasah



BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Persoalan siyasah yang pertama yang dihadapi kaum muslimin setelah Rasullullah wafat adalah suksesi politik. Sebagaimana dimaklumi, Rasulullah tidak menentukan siapa yang akan menggantikannya dan bagaimana mekanisme pergantian itu dilakukan. Oleh sebab itu, dalam sejarah Islam, dikenal bebagai mekanisme penetapan kepala negara, dan tentu saja, dengan berbagai kriteria yang sesuai dengan sosiohistoris yang ada. Dalam kasus Khulafa al-Rasyidiin, sebagai contoh, Abu Bakar ditetapkan berdasarkan “pemilihan suatu musyawarah terbuka”, Umar bin al-Khattab ditetapkan berdasarkan “penunjukan kepala negara pendahulunya”, Usman bin al-Affan ditetapkan berdasarkan “pemilihan dalam suatu dewan formatur”, dan Ali bin Abi Thalib ditetapkan berdasarkan pemilihan melalui masyarakat dalam pertemua terbuka” (cf. Munawir). Kenyataan demikian dimugkinkan oleh perubahan sosial-budaya dan dengan demikian menampilkan karakter siyasah yang berbeda dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat.  Berikut ini akan dipaparkan bagaimana siyasah pada masa Khulafa al-Rasyidiin, bagaimana mereka menghadapi dan mengendalikan masyarakat Islam.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana karakter pemerintahan pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq?
2.      Bagaimana karakter pemerintahan pada masaUmar bin Khattab?
3.      Bagaimana karakter pemerintahan pada masa Usman bin Affan?
4.      Bagaimana karakter pemerintahan pada masa Ali bin Abi Thalib?


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pemerintahan pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar dilahirkan dengan nama Abdullah ibn Abi Qahafah, sebelum ia memeluk Islam, ia mendapat julukan dengan nama Abdul Ka’bah. Setelah masuk Islam ia diberi nama oleh Rasulullah dengan sebutan Abdullah. Sebutan lain baginya adalah Atik (artinya lolos/lepas).
Pemilihan Abu Bakar yang terjadi di Saqifah tampak tidak berjalan mulus tanpa hambatan. Pemilihan Abu Bakar itu tidak diterima oleh semua pihak. Pada bai’at Saqifah, yang disebut dengan bai’at khusus, terdapat Sa’ad bin Ubadah yang sampai akhir hayatnya tidak mau berbai’at.
Ketika kemudian dilakukan bai’at di Masjid Nabawi, yang disebut bai’at umum, pihak-pihak yang tidak ikut membai’at Abu Bakar dari kalangan Muhajirin adalah Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin Awwam bin al-Ash, Khalid bin Sa’id, Miqda bin Amr, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, Ammar bin Yasir, Bara’ bin Azib, dan Ubay bin Ka’ab.
Penentang Abu Bakar yang paling keras dari kalangan Muhajirin Adalah Fatimah putri Rasulullah. Fatimah sangat kecewa kepada Abu Bakar terutama karena tiga hal, pertama, Abu Bakar meninggalkan Rasulullah tanpa segera dikuburkan, tetapi justru berebut kekuasaan, kedua, Fatimah menuntut warisan Fadak, sebidang kebun di luar Madinah, yang telah diberikan Rasulullah ketika masih hidup namun Abu Bakar menolak memberikannya dengan alasan bahwa “para Nabi tidak mewariskan, dan yang mereka tinggalkan adalah sedekah”, dan ketiga, Abu Bakar bertindak melewat batas
dengan memerintah penyerbuan rumah Fatimah.
Pada waktu terjadi bai’at di Masjid Nabawi, Abu Bakar mengucapkan pidato. Dari pidato Abu Bakar, tampak adanya garis politik dan kebijaksanaannya, yaitu sebagai berikut:
a.       Bertekad untuk melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang telah diletakkan oleh Rasulullah, yakni melaksanakan syari’at Islam,
b.      Melaksanakan musyawarah,
c.       Menjamin hak-hak umat secara adil,
d.      Melindungi ketaatan rakyat terhadap pemimpin selama pemimpin itu taat kepada Allah dan Rasulullah,
e.       Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,
f.       Mendorong terwujudnya kehidupan takwa. [1]
Tantangan pertama pemerintahan Abu Bakar adalah menunjukkan kepada para penentangnya bahwa ia tampil sebagai pemimpin untuk menyelamatkan umat Muhammad dari fitnah atau perpecahan internal umat Islam dan tindakan murtad dari mereka yang masih lemah iman.
Pada masa ini, timbul persoalan-persoalan yang tidak timbul pada masa Nabi. Oleh karena itu, terdapat beberapa pemecahan masalah yang diambil oleh Abu Bakar, dan dalam hal ini dapat dipandang sebagai fakta siyasah. Adanya kelompok masyarakat yang enggan mengeluarkan zakat, karena zakat hanya wajib dikeluarkan pada waktu Rasul masih hidup.
Sesudah Abu Bakar mampu menghempaskan keinginan kaum pembangkang di Dzil Qassah, kaum muslimin berduyun-duyun kembali membayar zakat. Mula-mula adalah Shafwan dan Zibriqan, tokoh-tokoh masyarakat dari Bani Tamim. Disusul kemudian dengan Adi ibn Hatim ath-Tha’i dari suku Tha’i. Kaum muslimin yang berada di Madinah merasa sangat yakin bahwa Allah akan membantu khalifah Abu Bakar memerangi kemurtadan dan membela kebenaran. Kecerdasan pikiran dan kematangan perhitungan Abu Bakar mampu membaca situasi menguntungkan seperti ini. Ia bertekad untuk tidak memberikan kesempatan dan ruang gerak musuh-musuh Islam. Mereka harus diperlemah kekuatannya, supaya tidak memiliki kesempatan utuk menggoyahkan kesatuan kaum muslimin.[2]
2.      Pemerintahan Umar bin Khattab
Umar bin Khattab bin Nufail bin Abd al-‘Uzza in Ribah bin Abdullah bin Qurat bin Zuhrah bin ‘Adi bin Ka’bah bin Luwayy bin Fihr bin Malik.  Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah melalui suara wasiat yang dibuat oleh Abu Bakar, pengangkatan Umar ini diterima dengan baik oleh semua umat Islam ketika itu, menurut Syibli, Umar menerapkan demokrasi, dan walaupun disebabkan oleh kondisi-kondisi khas zaman itu prinsip tersebut tidak dapat dikembangkan dalam semua aspek dan implikasinya, syarat-syarat yang esensial bagi suatu bentuk pemerintahan yang demokratis telah dilahirkan.
Banyak pengalaman dan ilmu yang diperoleh di daerah yang ditaklukkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Misalnya saja penaklukan Persia dan Bizantium.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, khalifah Umar bin Khattab mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Membagi wilayah-wilayah taklukan yang luas menjadi beberapa propinsi,
b.      Menyusun tata aturan dan tata tertib pengaturan administrasi negara,
c.       Dibuat beberapa jawatan-jawatan dalam mengatur pemerintahan.
Jawatan-jawatan tersebut antara lain Jawatan Pos, Pengawasan Timbangan-timbangan Takaran, Jawatan Pertahanan Negara, Baitul Mal, dan sebagainya.
Umar bin al-Khattab merupakan khalifah yang banyak sekali memberikan contoh-contoh siyasah. Di antaranya penerapan bea impor, dan pada masa itu berlaku atas dasar keseimbangan. Dalam hal ini seimbang dengan bea impor yang dikenakan negara-negara nonmuslim kepada pedagan-pedagang muslim.
Di bidang pemerintahan, langkah pertama yang dilakukan Umar sebagai khalifah adalah meneruskan kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakar dalam perluasan wilayah Islam ke luar Semenanjung Arabia. Pada masanya, terjadi ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran sehingga periode ini lebih dikenal dengan nama periode Futuhat Al-Islamiyyah (perluasan wilayah Islam). Berturut-turut pasukan Islam berhasil menduduki Suriah, Irak, Mesir, Palestina dan Persia.
Dalam melaksanakan kebijaksanaan pemerintahannya, Umar membentuk kebijakan di berbagai bidang, antara lain:
a.       Administrasi Pemerintahan
Umar berjasa membentuk Majlis Permusyawaratan, Anggota Dewan, dan memisahkan lembaga-lembaga peradilan. Ia juga membagi wilayah Islam menjadi 8 propinsi yang membawahi beberapa distrik dan subdistrik. Untuk masing-masing distrik itu diangkat pegawai khusus selaku gubernur. Gaji mereka ditertibkan. Selain itu, administrasi pajak juga dibenahi.
b.      Pertahanan
Untuk kepentingan pertahanan, keamanan, dan ketertiban dalam masyarakat, didirikanlah lembaga kepolisian, korps militer dengan tentara terdaftar.
c.       Peradilan Islam
Umar melakukan pembenahan peradilan. Dialah yang mula-mula meletakkan prinsip-prinsip peradilan dengan menyusun sebuah risalah yang disebut Dustur Umar atau Risalah al-Qodho’ yang kemudian dikirimkan kepada Abu Musa al-Asy’ari, qodhi di Kufah, yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka sidang.
d.      Dalam Bidang Hukum
Dalam bidang hukum, ijtihadnya adalah mengenai pembagian harta warisan, perumusan prinsip kias, talak tiga, pendirian pengadilan-pengadilan, pengangkatan para hakim, pemakaian cambuk dalam melaksanakan hukum badan, penetapan hukuman 80 kali dera bagi pemabuk, pemungutan zakat atas kuda yang diperdagangkan, dan larangan penyebutan nama-nama wanita dalam lirik syair, penentuan kalender hijriyah juga merupakan hasil ijtihad Umar yang diabadikan sampai sekarang.
e.       Kesejahteraan Umat dan Peribadatan
Pemberian gaji bagi para imam dam muadzin, pengadaan lampu penerangan dalam masjid-masjid, pendirian Baitul Mal. Dalam hal ibadah antara lain mengenai empat takbir dalam shalat jenazah, penyelenggaraan dalam shalat tarawih berjamaah, penambahan kalimat as-shalat khoirun minannaum dalam adzan shubuh.
f.       Mekanisme Meningkatkan Pemerintah Daerah
Umar melengkapi gubernurnya dalam berbagai staf yang terdiri dari katib, Katib ad-Diwan, Shahib al-Kharaj, Shahib al-Aldas, Shahib Baitul Mal, Qadhi, dll.
Dalam hal penunjukan pejabat dan pegawai-pegawai negara, Umar dianggap memiliki kearifan dan pengertian yang mendalam serta kenegarawan yang tidak ada persamaannya dalam sejarah, khususnya dalam menilai kapabilitas orang.
Umar pada masa pemerintahannya cukup banyak hal-hal baru yang ditempuhnya. 
Dalam bidang munakahat, Umar menetapkan peraturan bahwa menjatuhkan talak tiga kali bermakna hukum menjatuhkan talak tiga. Selain itu, Umar melakukan perubahan atas status tanah Irak dan Syam yang didapat dari musuh menjadi tanah kharaj. Ia tidak memotong tangan pencuri pada ‘am maja’ah (masa kelaparan) dan tidak memberikan bagian kepada muallaf merupakan contoh-contoh lain dari kebijakannya sebagai kepala negara.
Menjelang akhir pemerintahannya dan juga akhir hayatnya, Umar bin Khattab membentuk dewan formatur, yang anggotanya terdiri, Ali bin Abi Thalib, Usmanbin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqaf. Di samping keenam orang ini, Umar juga menunjuk Abdullah bin Umar selaku penasihat dan tidak ditempatkan sebagai calon pengganti khalifah. Umar juga menunjuk Abu Thalhah al-Anshari dari suku Khazraj sebagai pelaksana perintahnya. Ia disuruh mengambil lima puluh orang anggota sukunya dengan pedang di tangan untuk menjaga di pintu majlis pertemuan.[3]
3.      Pemerintahan Usman bin Affan
Usman bin Affan bin al-‘Ash bin Umayyah bin Abd Syam bin Abd Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib.  Sebagaimana para pendahulunya, Usman bin Affan berusaha menerapkan siyasah syar’iyyah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi selama masa pemerintahannya,  sesuai dengan janji yang diminta Abdurrahman bin Auf ketika akan dibai’at, dan berjalan cukup efektif khususnya pada masa enam tahun pertama pemerintahannya. Di samping melanjutkan kebijakan Abu Bakar dan Umar, banyak pula hal lain yang dilakukan selama masa-masa ini seperti perluasan wilayah, penaklukan-penaklukan negeri, perluasan masjid, pembangunan sarana-sarana umum, penyusunan mushaf, dan lain-lain.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, Usman mulai “dikelilingi dan dikendalikan” kaum kerabatnya terutama kalangan bani Umayyah, para kaum thulaqa yang masuk Islam dalam kondisi yang tidak berdaya berhadapan dengan pasukan Rasulullah yang sedang berada dalam puncak keberhasilannya pada waktu fathu Makkah.  Karena kebijakan Usman dalam menjalankan pemerintahan diarahkan dan dikendalikan mereka, maka banyak yang menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang akibatnya membawa malapetaka bagi umat Islam bahkan bagi Usman sendiri.
Usman sangat berbaik hati kepada kerabat-kerabatnya yakni dengan memberikan uang, fasilitas, jabatan-jabatan penting, dan gaji besar dari yang diambil dari Baitul Mal. Inilah nepotisme pertama dalam sejarah pemerintahan Islam, dan karena nepotismenyalah maka Usman kehilangan nyawanya. Ketika kekuasaan itu telah berpusat di satu tangan, maka berlakulah adagium Lord Acton, “power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”. Para pejabat pemerintahan Usman banyak melakukan tindakan sewenang-wenang, yang menimbulkan ketidakpuasan dan protes rakyat banyak serta menimbulkan kepahitan para sahabat senior terutama para ahli Badar. Sesungguhnya yang menimbulkan protes bagi rakyat dan para sahabat senior bukan semata-mata penumpukan kekuasaan pada keluarga Bani Umayyah, tetapi karena perilaku para pejabatnya yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam.[4]
4.      Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Setelah Usman meninggal dunia, ketika itu tiada pilihan lain untuk dijadikan khalifah penerus Usman kecuali Ali bin Abi Thalib. Secara aklamasi, Ali dibai’at oleh anggota “dewan formatur” bentukan Umar yang masih ada, kemudian diikuti secara umum oleh umat Islam di Masjid Nabawi. Segera setelah memegang tampuk kepemimpinan, naluri dan visi idealisme Qur’ani Ali mulai dicanangkan. Ali menyingkirkan para pejabat korup dan penindas rakyat serta menyelidiki kekayaan baitul maal yang telah diambil secara haram.
Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, situasi politik sedang bergejolak, tentu saja, situasi demikian tidak memungkinkan khalifah untuk mengupayakan pengaturan dan pengarahan kehidupan umat secara leluasa. Pada masa ini terjadi peperangan antar muslim. Sekalipun khalifah telah berusaha mempersatukan umat, namun situasi politik semakin memburuk.
Abdul Halim Mahmud mengatakan, “pada masa kekhalifahan Ali yang singkat, beliau berusaha untuk membimbing manusia menuju akhirat, tetapi mereka mengarah menuju dunia. Ali selalu dihadapkan pada pertentangan dan peperangan. Meskipun demikian, Ali berusaha menjalankan pemerintahan sesuai dengan sunnah Rasulullah, melanjutkan kebijakan dari para khalifah sebelumnya, mereformasi pemerintahan, meletakkan dasar-dasar gramatika bahasa Arab, memberikan khotbah-khotbah tentang ilmu agama, retorika, falsafah, dan tentang kewajiban manusia kepada Tuhan.
Ali juga masih sempat memperkenalkan dan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, mengatur keamanan negara, membentuk lembaga-lembaga seperti lembaga keuangan umum, pengadilan, tentara,  demikian juga strategi pada perang Siffin. Ia memerintahkan pasukannya agar tidak mundur dari medan perang.[5]


BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Dari keempat khalifah tersebut memiliki karakter pemerintahan yang sama yaitu sesuai dengan sunnah Rasullullah, namun karena sosial budaya menyebabkan adanya perbedaan karakter dari keempat khalifah tersebut. Banyak hal yang dihadapi mereka yang tidak ada pada masa Nabi. Namun, mereka pun melakukan ekspansi wilayah dan melakukan kebijakan-kebijakan yang membawa umat Islam menjadi lebih baik.















                                                                          

Daftar Pustaka
Ridwan, Fiqh Politik,2007,Yogyakarta:FH UII PRESS
Al-usairy Ahmad,2003 Sejarah Islam,Jakarta:AKBAR MEDIA
Djazuli, H.A, Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Haikal, Muhammad Husain, Biografi Abu Bakar as-Shiddiq.trj. Abdul Kadir Mahdamy, Jakarta: Qisthi Press, 2007
http//pengajianislam.pressbooks.com diakses 19/9/2016. Pkl 12:00


[1] Ridwan, Fiqh Politik, (Jogjakarta: FH.UII Press, 2015), hlm 155.
[2] http//pengajianislam.pressbooks.com diakses 19/9/2016. Pkl 12:00
[3] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media, 2222), hlm. 162.
[4] Djazuli, Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.hlm 102-105.
[5] Muhammad Husain Haikal, Biografi Abu Bakar as-Shiddiq. Jakarta: Qisthi Press.hlm.114-117