Kamis, 01 Desember 2016

ulumul hadits

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Hadis  telah  ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesungguhnya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutama yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah.
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka.
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
2.         Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan :
1)         Pengertian Hadist
2)         Bagaimana sejarah hadis ketika periode Rasulullah SAW?
3)         Bagaimana cara penyampaian hadist
4)         Bagaimana sejarah hadis ketika masa tabi’in?



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Hadist
Secara etimologis, hadist adalah isim mufrad (kata benda tunggal),akar katanya berasal dari huruf hijaiyah yang dapat memliki beragam arti. Hadist terkadang diartikan dengan al-jadid(yang baru) sebagai kebalikan dari al-qadim(yang lama). Selain itu, hadist juga dapat bermakna  al-khabar(berita) dan al-kalam(pembicaraan).
Bentuk plural dari kata hadist bisa berupa ahadis adalah bentuk plural paling populer yang digunakan para ilmuan hadist.[1]
B.   Sejarah Hadist Masa Rasullah
Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (masa turunya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah,hadist lahir berupa sabda (aqwal),af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk menegakkan syari’at Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Para sahabat menerima hadist secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW, memberi ceramah,pengajian,khotbah,atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan,baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW,kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang,Nabi menekankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan dan menerapkan hadist dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada oreang lain.
Tidak ditulisnya hadist secara resmi pada masa Nabi, bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadist. Dalam sejarah penulisan hadist terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadist,diantarannya;
a.       ‘Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash, shahifah-nya disebut Ash-Shadiqah.
b.      Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadist tentang hukum diyat,hukum keluarga dan lain-lain.
c.       Anas Ibn Malik.[2]
Disamping itu, ketika Nabi SAW menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah Islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara, dan barat. Surat-surat tersebut merupakan koleksi hadist juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW telah dilakukan penulisan hadist di kalangan sahabat.[3]
C.    Cara Penyampaian Hadis Pada Masa Rasullah
a.      Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadis
Ada suatu keistimewaaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya . Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari  Rasul Saw sebagai sumber hadis. Antara Rasul Saw dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Allah menurunkan al-Quran dan mengutus nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu .
Rasulullah SAW hidup ditengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada protokolan-protokolan yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala beliau tak ada di rumah. Yakni tak boleh mereka terus masuk kerumah  dan berbicara dengan istri-istri Nabi, tanpa hijab.
Nabi SAW menggauli mereka di rumah, dimasjid, dipasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi , demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan,dan taqrir nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan  ini sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat  yang biasa digunakan Rasulullah Saw cukup bervariasi, seperti  di mesjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam Perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah).
Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampaikan hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka (melalui musyahadah).
Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasulullah menyampaikan hadisnya dengan  berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya. Ada beberapa cara  Rasul SAW menyampaikan hadis kepada ara sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang di sebut majlis al-‘ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAw.
Para sahabat begitu antusias untuk bisa tetap mengikuti kegiatan di majlis ini , ini ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang diantara mereka bergantian hadir , seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab. Ia sewaktu-waktu bergantian hadir dengan Ibnu Zaid (dari bani Umayah) untuk menghadiri majlis ini, ketika ia berhalangan hadir. Ia berkata: “kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi , demikian aku melakukannya .”[4][5] Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua, dalam banyayk kesempatan Rasul Saw juga menyampaikan haidisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis , para sahabat yang datang hanya beberapa orang saja, baik karena di sengaja oleh Rasul Saw sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang , seperti hadis-hadis yang di tulis oleh Abdullah Bin Amr Ibnu Al- ‘Ash.
Untuk hal-hal yang sebsitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebetuln biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga sikap para sahabat ,jika ada hal-ahal yang berkaitan dengan  soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul Saw, seringkali di tanyakan melalui istri-istrinya.
ketiga , cara lain yang dilakukan Rasul Saw adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.
Tujuan Nabi SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, di antaranya ialah ;
a) karena ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT kepadanya dalam waktu yang cukup panjang ;
 b) ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan di alaminya sendiri
 c) bermaksud meluruskan akidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.
b.      Cara-Cara Sahabat Menerima Hadis Dari Rasulullah SAW
Apabila para shahabi berkata yang artinya:
saya mendengar Rasul SAW”
      Atau
        Rasulullah SAW Mengkhabarkan kepadaku”
      Atau
        Rasulullah SAW menceritakan kepadaku”
     Atau
        “ Rasulullah SAW menerangkan kepadaku secara lisan”
    Atau
        Aku lihat Rasulullah SAW berbuat”.
Maka semua ulama mengatakan, bahwa yang demikian itu menjadi Hujjah; karena terang bahwa Shahabi itu berhadapan langsung dengan Nabi SAW:
        Apabila seseorang shahabi membawa lafadhnya yang memungkinkan ada perantaraan, seperti ia mengatakan:
“ bersabdalah Rasulullah SAW”
Atau
Rasulullah SAW menyuruh “
“ Rasulullah SAW telah menegah”
“ Rasulullah SAW telah memutuskan”
Maka menurut pendapat Jumhur, juga menjadi Hujjah , baik perawi itu sahabat kecil ataupu shahabi besar , kerena menurut Dhahair Shahabi itu meriwayatkan dari Nabi SAW jika di takdirkan ada perantaraan maka hadis tersebut  menjadi Mursal Shahabi, yang menjadi Hujjah juga menurut Jumhur.
        Apabila Shahabi berkata:
        “ kami diperintahkan begini”
    Atau
        “ kami di larang yang demikian “
Maka menurut pendapat Jumhur juga menjadi hujjah, karena menurut dhahir, yang memerintah  dan  menegah  itu adalah Nabi SAW sendiri.
Abu Bakar Shairafi Al-Isma’ili, Al Juwaini, Al Karakhi, mengatakan bahwa “ yang demikian itu tidak menjadi Hujjah, kerena mungkin yang menyuruh dan menegah itu, bukan Nabi, tetapi sebagian Khalifah.
Ibnu Daqiqiel ‘Ied menerangkan, bahwa sebagian ulama membedakan antara sahabat-sahabat besar, seperti: Khalifah Empat, Ulama-ulama Sahabat, seperti Ibnu Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Anas ibn Malik, Abi Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan antara lain mereka.
c.       Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis
Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali . hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul Saw. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga ,perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari mesjid Rasul Saw.
Ada beberapa orang sahabat yang dicatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul  Saw dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu antara lain:
a)      Para sahabat yang tergolong kelompok Al- Sabiqun Al- Awwalun (yang mula-mula masuk islam), seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud . mereka banyak menerima hadis dari Rasul Saw, karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
b)      Ummahat Al- Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti  Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul Saw daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-istri.
c)      Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga menuliskan hadis-hadis yang di terimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-‘Ash.
d)      Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasu SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secar sungguh-ungguh, seperti Abu Hurairah.
e)       Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.
d.      Menghafal dan Menulis Hadis
1.      Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran ia secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping di hafal. Sedang terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi dalam hal ini ia bersabda yang artinya.
“Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah di hapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR Muslim). Alasan Nabi SAW tidak memperkenankan para Sahabat untuk menulis hadis , salah satunya adalah karena dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an  dengan tidak sengaja. Oleh karena itu Nabi SAW melarang mereka menulis hadits, beliau Khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman Ilahi.
Maka segala hadis yang diterima dari Rasul SAW oleh para sahabat diingatkan secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul SAW untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang di terimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Petama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah di warisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya; ketiga, seringkali ia menjajikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.
2.      Menulis Hadis
Di balik larangan Rasul SAW. Seperti pada hadis Abu Sa’id  Al-Khudri di atas, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis dan memiliki catatan –catatannya, ialah:
1)      Abdulillah ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasul SAW, sehingga di berinya nama al-sahifah  al-shadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdulillah ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW mereka berkata: “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan  marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasul SAW, dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan yang artinya:
tulislah! Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang benar”. (HR. Bukhari).
Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadis , yang menurut pengakuannya diterima langsung dari  Rasul SAW  ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.
2)      Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al- Anshari (w. 78 H.). ia memiliki catatan hadis dari Rasul SAW tentang manasik Haji. Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan sahifah Jabir.
3)      Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan Al- Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya ini di wariskan kepada anaknya bernama Hammam.
4)      Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al- Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasul SAW dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang di lakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul SAW. Kemudian bersabda yang artinya:
“kalian tuliskan untuk Abu Syah”.
Di samping nama di atas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya, yang juga mengaku memiliki catatan hadis dan di benarkan Rasul SAW . seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud.[5]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi SAW baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang di syariatkan kepada manusia .
Para sahabat menerima hadis (Syari’at) dari Rasul SAW ada kala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang dimajukan oleh seseorang lalu Nabi SAW menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya, selain pada masa Rasulullah pertumbuhan hadis juga terjadi pada masa sahabat Rasulullah dan pada masa tabi’in, yang bertujuan untuk menjaga hadis Rasulullah yang merupakan sumber ajaran agama ke dua setelah Al-qur’an.


















DAFTAR PUSTAKA

Satar Abdul,Ilmu Hadis,Semarang: RaSAIL Media Group
Solahudin Agus dan Suryadi Agus, Ulumul Hadis ,Bandung: Pustaka Setia 2008.
http://ikanteri89.blogspot.co.id/2014/05/makalah-ilmu-hadis-sejarah-pertumbuhan.html








[1]Abdul Satar,Ilmu Hadis,Semarang: RaSAIL Media Group.hlm 1.
[2] Agus Solahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis ,Bandung: Pustaka Setia 2008.hlm.34.
[3] Agus Solahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis, Bandung:Pustaka Setia 2008.hlm 35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar