BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebenarnya istilah
Ahlusunnah Waljamaah (Aswaja) belum dikenal pada masa Al-Asy’ari (260-324
H/873-935 M) tokoh yang dianggap sebagai salah satu pendiri paham ini. Bahkan
para pengikut Al-Asy’ari sendiri, seperti Al-Baqilani (wafat 403 H),
Al-Baghdadi (wafat 429 H), Al-Ju’aini (wafat 478 H), Al-Ghozali (wafat 505 H),
dan Asy-Syahrassani (wafat 548) juga belum pernah menyebutkan masalah penamaan
Ahlusunnah Waljamaah. Pengakuan secara tidak langsung mengenai paham Ahlusunnah
Waljamaah baru di kemukakan Azzabidi (wafat 1205 H) yang menyatakan bahwa
apabila disebut ahli sunnah waljamaah maka yang di maksud adalah pengikut
Al-Asy’ari dan al-Maturidi. Hal ini berarti paham ahlusunnah waljamaah baru
dikenal jauh sesudah wafatnya tokoh yaitu dianggap sebagai pendirinya, yaitu
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah perkembangan Ahlus Sunnah Waljamaah?
2. Bagaimana
penerapan paham Ahlus Sunnah Waljamaah?
3. Bagaimana
ciri perilaku Ahli Sunnah Waljamaah?
4. Apa
pengertian salaf dan khalaf?
5. Siapa
saja tokoh-tokoh Ahlussunnah Waljama’ah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Ahlus Sunnah Waljamaah
Menurut banyak
referensi (maraji’) sejarah (tarikh) Islam, kehadiran Islam sejak
semula telah syarat dengan muatan-muatan politis. Pakar sejarah (marrikh) banyak menuturkan kisah ‘Afif
Alkindi. Sebagai seorang pedagang, ia pernah datang ke Makkah saat musim haji,
kemudian ia menjumpai Al-Abbas (paman Nabi SAW). Pda saat itu ia menyaksikan
seorang laki-laki yang sedang sholat menghadap kiblat, lalu di susul seorang
perempuan dan seorang pemuda yang turut sholat bersamanya. Ia bertanya kepada
Al-Abbas : “ agama apakah ini?”. Abbas menjawab : ini adalah Muhammad Ibnu
Abdullah, putra saudara laki-lakiku dia menganggap dirinya Rasullah SAW,
berobsesi untuk menggulingkan Persia dan Romawi[1].
Kisah ini
seringkali dianggap sebagai bukti bahwa dakwah Rasullah SAW, pertam kali telah
bertendensi politik, yakni obsesi untuk menaklukkan Imperium, Persia, dan
Romawi (Bizantium) sebagai adikuasa
dunia saat itu. Oleh karena itu, wajarlah apabila persoalan yang muncul dalam
kajian faksi-faksi Islam (al-Firaq
al-Islamiyyah) bermula dari masalah politik, kemudian merembet pada
persoalan keyakinan(aqidah).
Secara
sosiologis karakter dan lingkungan Arab yang dikelilingin padang pasir juga
mempengaruhi watak bangsa Arab. Watak alami pasir itu selain susah disatukan
juga bersifat tidak stabil atau labi. Watak ini tidak secara langsung
menjadikan bangsa Arab sulit kalau tidak mustahil
bersatu. Watak itu juga membuat mereka menjadi bangsa yang memiliki
fanatisme tinggi sekaligus fanatisme yang mengakar. Tidak heran jika mereka
saling bermusuhan antar suku (kabilah)
meskipun hanya mengenai urusan sepele. Misalnya hanya karena persoalan salah
menghormati tamu berkobarlah perang Fijar[2].
Ditengah-tengah
bangsa seperti itulah Allah SWT, mengutus Rasulullah SAW, untuk membawa misi
Islam (risalah Islamiyyah) yang lebih
menekankan rehabilitasi moral (akhlaq),
persaudaraan (ukhuwah), dan
persatuan. Selama kurang lebih 23 tahun Beliau mampu meredam fanatisme kesukuan
yang telah tertanam dalam diri mereka menjadi fanatisme Islam. Mereka semula
bangga dengan gelar kesukuan seperti Al-Taymi,
al-‘Adiy, al-Najjariy dan sebagainya, berubah menjadi gelar yang bertalian
dengan Islam seperti al-Shiddiq, al-Faruq,
al-Mutadha dan sebagainya.
Menurut Ibnu
Taimiyah, madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah madzhab yang sudah ada sejak
dulu. Ia sudah dikenal sebelum Allah menciptakan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i
dan Ahmad. Ahlu sunnah ialah madzhab sahabat yang telah menerimanya dari Nabi
mereka. Barang siap menentang itu, menurut pandangan ahlu sunnah, berarti ia
mambuat bid’ah. Mereka telah sepakat bahwa ijma’ sahabat adalah hujjah, tapi
mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan ijma’ orang0orang sesudah sahabat. (Minhaj as-Sunnah 2:482,Tahqiq Muhammad
Rasyad Salim).
Adapun mengenai
awal penamaan ahlus sunnah wal jama’ah atau ahli hadits ialah ketika telah
terjadinya perpecahan, munculnya berbagai golongan, serta banyaknya bid’ah dan
penyimpangan. Pada saat itulah Ahli Sunnah menampakkan identitasnya yang
berbeda dengan yang lain, baik dalam aqidah maupun manhaj mereka. Namun pada
hakikatnya, mereka itu hanya merupakan proses kelanjutan dari apa yang
dijalankan Rasulullah SAW dan para sahabatnya[3].
B.
Penerapan Paham Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah
Dimanpun
dan kapanpun ahlus sunnah wal jama’ah harus menjadi sebuah pegangan dan
tuntunan hidup bagi semua masyrakat terutama masyarakat Nahdliyin, dengan
demikian generasi penerus kaum Nahdliyin baik dari anak-anak sampai dewasa harus
mengetahui, memahami baik yang tersurat maupun tersirat, dan melakukan atau
menjalankan apa yang menjadi tuntunan serta menjadi sebuah aqidah yang harus
mendarah daging kedalam sanubari bagi semua warga Nahdliyin[4]
1. Paham
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai pegangan dalam kehidupan keluarga atau
individu
Sebagaimana telah kita pahami diats
bahwa ahlus sunnah wal jama’ah harus menjadi tuntunan bagi semua orang maupun
masyarakat terutama kaum Nahdliyin, dan ada beberapa paham yang harus menjadi
pegangan diantaranya adalah :
a. Ajaran
ahlus sunnah wal jama’ah di bidang aqidah
Jam’iyah Nahdhotul Ulama penganut islam
yang berusaha melestarikan, membela dan mengembangkan Islam yang beraliran
ahlus sunnah wal jama’ah. Golongan ahlus sunnah wal jama’ah merupakan kaum yang
menganut i’tiqod dan ‘amaliyah Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya.[5]
b. Ajaran
ahlussunah wal jama’ah di bidang syariat
Dalam bidang syariat (fiqih, hukumIslam)
kaum ahlu sunnah wal jama’ah berpedoman pada empat madzhab, yaitu Imam Hanafi,
Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Namun Nahdhotul Ulama sebagai
oraganisasi yang berhaluan Islam ahlus sunnah wal jama’ah di kalangan
pengikutnya sebagian besar mengikuti madzhab Syafi’i[6]
c. Ajaran
ahlus sunnah wal jama’ah di bidang akhlaq
Kaum ahlus sunnah wal jama’ah dalam bidang
akhlaq atau tasawuf mengikuti dua pemikiran, tasawuf yaitu Abu Qosim Al Junaidi
dan Imam Ghozali. Dalam kitabnya, “ kimiya’u as sa’adah” Imam Ghozali berkata :
“bahwa tujuan memperbaiki akhlaq adalah untuk membersihkan hati, kotoran, hawa
nafsu dan amarah. Sehingga hati menjadi suci bagaikan cermin yang dapat
menerima nur cahaya Tuhan”[7]
2.
Ajaran ahlus sunnah wal jama’ah dalam
masyarakat
Dalam
bidang sosial kemasyarakatan dan politik kaum ahlus sunnah ewal jama’ah
mempunyai prinsip dan ciri khas yang berbeda dengan golongan lain. Hal ini
tampak jelas dalam bebereapa masalah, antara lain :
a. Maslah
khilafah
Dalam
masalah kepemimpinan dan pemerintahan wajib di tegakkan sebagai pewaris
kepemimpinan Rasulullah SAW. Namun, bentuk kongkritnya diserahkan kepada
manusia sebab dalam mengurus urusan dunia ajaran Islam diserahkan pada manusia
dengan jalan musyawareah untuk memperoleh hasil yang terbaik dan bermanfaat[8].
b. Masalah
persaudaraan dan perbedaan pendapat
Menurut
ahlussunah wal jama’ah bahwa semua muslim adalah bersaudara. Maka jika terjadi
perbedaan pendapat (perselisihan) diusahakan islah (berdamai) menurut prosedur
yang telah diterapkan. Jika terjadi perselisihan dan kesalahn harus dicari
jalan keluarnya dan diperbaiki menurut tata cara yang disepakati jika perlu
diberi sanksi hukum menurut aturan yang berlaku. Misalnya, jika sampai hukuman
mati dijatuhkan, jenazah orang tersebut dianggap jenazah muslim yang harus
diperlakukan menurut Islam.
c. Masalah
dosa
Perbuatan
dosa adalah perbuatan yang tidak berdasarkan perintah agama dan bertentangan
dengan ajarannya. Ahlus sunnah wal jama’ah berpendirian bahwa setiap orang yang
meyakini kebenaran syahadatain, betapapun besar dosanya, dia tetap dianggap
seorang muslim. Agar kita tidak
terjerumus dalam perbuatan dosa baik kecil maupun besar, maka perlu
menyadari akibat perbuatan dosa yang kita lakukan. Dengan demikian kita dapat
mengendalikan hawa nafsu dan berfikir lebih jauh setiap tindakan yang akan
dilakukan dan akibatnya.
Adapun
orang yang rusak moralnya, perlu dinasihati berdasarkan al amru bil ma’rif wa nahyu anil munkari atau diberi sanksi hukum
menurut aturan yang berlaku. Tetapi tidak sampai mengkafirkannya sebab ia masih
tergolong kaum yang beriman. Demikian prinsip-prinsip menurut ajaran ahlus
sunnah wal jama’ah yang menjadi landasan pegangan hidup dalam bidang sosial
kemasyarakatan dan politik[9]
C.
Ciri Khas Perilaku Ahli Sunnah Wal
Jama’ah
1.) Ahlus
sunnah adalah sebaik-baik manusia bagi manusia
Sebagaimana kita lihat, ahli sunnah
wal jama’ah adalah pembawa warisan kenabian dalam segi ilmiah dan amaliahnya.
Sedang segi amaliyah yang paling menonjol dalam petunjuk kenabian adalah segi
akhlaq. Karena itu, akhlaq kenabian termasuk rahmat dan cinta kebaikan bagi
orang-orang, menahan gangguan mereka dan bersabar dalam menyeru mereka
merupakan sumber darimana ahli sunnah mendapatkan ciri khas mereka dalam
perilaku yang tidak kurang pentingnya dalam pandangan kebenaran dari warisan
ilmu dan petunjuk yang di khususkan Allah bagi golongan yang selamat ini dengan
karunia dan rahmatnya[10].
2.) Ahli
sunnah mengikuti al-qur’an dan sunnah dalam semua hubungan mereka
Dalam perilakunya, ahlus sunnah wal
jama’ah mengikuti al-qur’an dan sunnah, baik dalam hubungan mereka dengan
sesamanya atau orang lain :
Ahlus sunnah menyuruh bersabar
disaat menghadapi cobaan, dan bersyukur disaat mengalami kesejahteraan, rela
dengan keputusan Allah dan menyuruh kepada budi pekerti mulia serta perbuatan
baik. Mereka meyakini makna sabda Nabi saw : “orang mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaqnya”. Mereka menganjurkan, agar engkau
menyambung hubungan dengan siapa yang memutuskan hubungan denganmu, memberi
orang yang tidak mau memberimu, memaafkan orang yang mendzalimi kamu. Mereka
menyuruh berbakti kepada orang tua, menyambung hubungan dengan kerabat,
bertetangga yang baik, berbuat baik kepada anak yatim, orang-orang miskin dan
musyafir, bersikap lemah lembut kepada sahayanya. Mereka melarang membanggakan
diri dan bersikap sombong, berbuat dzalim, menganiaya makhluk dengan atau tanpa
hak. (juz 9, hlm 158)[11].
3.) Ahlus
sunnah adalah mereka yang menyuruh berbuat yang makruf dan melarang yang
mungkar disamping memelihara kesatuan
Ahlus sunnah menyuruh berbuat yang
makruf dan melarang yang mungkar. Inilah prinsip pertama dan kaidah besar yang
menjadikan mereka sebaik-baik umat yang dikeluarkan bagi manusia. Tetapi, mereka
menjalankan hal itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan syariat. Mereka
menyuruh menunaikan haji dan berjihat, menunaikan sholat jum’at dan ied bersama
oara umara (penguasa) yang salih maupun yang durjana dan memelihara kesatuan
serta melakukan nasihat kepada umat. Mereka meyakini makna sabda Nabi saw :
“orang mukmin terhadap mukmin itu seperti bangunan yang sebagiannya menguatkan
sebagian lainnya.” Dan beliau mengaitkan jari-jarinya[12].
4.) Ahlus
sunnah wal jama’ah memikul amanat ilmu dan pemeliharaan kesatuan
Jika demikian, ahlus sunnah wal
jama’ah memikul amanat ganda yang salah satunya tidak kurang beratnya dari yang
lain. Yang pertama adalah amanat ilmu dan menjalannya, berdakwah dan berjihat.
Yang lain adalah amanat memelihara kesatuan golongan islam dengan arti yang
umum dan menyeluruh. Dalam hal itu, mereka berjalan dengan timbangan yang
akurat diatas pertumbuhan syara’ yang bijaksana dan bebas dari kekuasaan hawa
nafsu, tradisi serta kekuasaan madzhab atau thoriqot atau kelompok dan
sebagainya[13].
5.) Ahlus
sunnah saling mendukung secara umum dan saling memaafkan
Ahlus sunnah wal jama’ah saling
mendukung tanpa memandang afiliasi mereka yang berbeda-beda kepada suatu partai
atau kecenderungan atau ijtihat tertentu. Mereka, pada mulanya adalah satu
golongan yang saling memaafkan dan tidak terburu-buru melancarkan tuduhan atau
saling menganggap sesat satu sama lain.
Yang wajib adalah mendahulukan siapa
yang didahulukan Allah dan Rosul-Nya, mengakhirkan siapa yang diakhirkan Allah
dan Rosul-Nya, mencintai apa yang dicintai Allah dan Rosul-Nya, melarang apa
yang dilarang Alaah dan Rosul-Nya serta meridhai apa yang diridhai Allah dan
Rosul-Nya.
Hendaklah kaum muslimin bersatu.
Bagaimana halnya jika sebagian orang menganggap sesat sebagian lainnya dan
mengkafirkannya, sementara kebenaran ada padanya sesuai dengan Al-Qur’an serta
Sunnah. Walaupun saudaranya yang muslim telah keliru dalam suatun urusan agama,
namun tidaklah setiap orang yang keliru itu kafir atau fasiq. Bahkan Allah
telah memaafkan umat ini dari kekeliruan dan kealpaan. (juz 3, hal. 426)[14].
Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh
oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka yang selalu berpegang
teguh kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat, tabi’in, dan para pelopor
kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti itu karena mereka
menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka untuk merujuk
kepadanya lahir dan batin.
Dalam hal ini ada dua versi
yaitu: Salaf dan Khalaf, namun di sini secara khusus hanya membahas tentang
salaf.
D.
Pengertian Salaf
Kata salaf
secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan
dan kebaikan. Berkata Ibnul Mandzur : “Salaf juga berarti orang-orang
yang mendahului kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki hubungan
kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang lebih
banyak”. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-Salafush
Shalih. Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus
untuk para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikut sertakan
karena mengikuti mereka. Al-Qalsyaany berkata dalam Tahrirul Maqaalah min
Syarhir Risalah : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang
mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya.
Allah SWT telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan meridhoi mereka
sebagai imam-imam umat.
Salafiyah
adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang mengacu kepada sikap atau
pendirian yang dimiliki para ulama generasi salaf itu. Kata salafiyah
sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘terdahulu’, yang maksudnya ialah
orang terdahulu yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad SAW, Sahabat, Tabi’in,
dan Tabi’it Tabi’in.
Aliran salaf
merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn
Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam
Ahmad Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan
reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah.
Kata salaf
secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau
"leluhur". Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi
yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, diantaranya adalah:
1. Menurut Thablawi Mahmud
Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk
generasi sahabat, tabi’, tabi’ tabi’in para pemuka abad ke-3 H, dan para
pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari para muhadditsin dan lainnya.
Salaf berarti pula uluma-ulama shaleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.
2. Menurut As-Syahrastani,
ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat
mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antropomorphisme).
3. Mahmud Al-Bisybisyi
menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat
diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat
Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan
mengagungkan-Nya.
Konsep aqidah
salaf atau disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode Alquran
yang relevan dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan
para penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang terkandung pada
ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya.Hasan al-Banna kemudian menguatkan
sikap tentang hal yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut
merupakan hal yang dipermasalahkan oleh kaum salaf dan kaum khalaf,
kemudian Hasan al-Banna menguatkan pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat
atau Hadis yang membahas tentang sifat Tuhan tidak harus diinterpretasi atau
dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk mengimani Tuhan.
Ibrahim Madzkur menguraikan
karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut :
1. Mereka lebih mendahulukan
riwayat (naql) daripada dirayah(aql).
2. Dalam persoalan pokok-pokok
agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ad-din), mereka
hanya bertolak dari penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.
3. Mereka mengimani Allah tanpa
perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham
anthropomorphisme.
4. Mereka mengimani ayat-ayat
Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Bila Salafiyahmuncul pada abad
ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya
mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam
Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang menanamkan
batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu
Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof Islam dengan segala metodenya.
Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain
untuk mengetahui aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik secara global
ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya.
Ulama-ulama
Salaf dan Beberapa Pemikirannya
1. Imam
Ahmad Bin Hanbali
a. Riwayat Singkat Hidup Ibn
Hanbal
Imam Hanbal
nama lengkapnya ialah Al-imam Abu abdillah Ahmad ibn Hanbal Hilal Addahili
As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan
meninggal pada tahun 241 H/855 M.Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah
seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam
Hanbal karena merupakan pendiri madzhab Hambali.
Ayahnya
bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin
Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal
bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar,
sedangkan ibu beliau bernama Syahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin
Sahawah bin Hindur Asy-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari
golongan terkemuka kaum bani Amir.
Ayahnya
meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja, Namun ia telah memberikan pendidikan
Al-Qur’an pada Ibnu Hanbal pada usia 16 tahun ia belajar Al-Qur’an dan
ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama’-ulama’ Baghdad. Lalu mengunjungi
ulama’-ulama’ terkenal di khuffah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah, Madinah.
Diantara guru-gurunya adalah : Hammad bin Khallid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar
bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya
bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq bin
Humam, dan Musa bin Thariq. Dari guru-gurunya Ibn Hanbal mempelajari ilmu
fiqh, kalam, ushul, dan bahasa Arab.
Karya beliau
sangat banyak, di antaranya : Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan
karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits, Kitab
At-Tafsir, Kitab Az-Zuhud, Kitab Fadhail Ahlil Bait, Kitab Jawabatul Qur’an,
Kitab Al Imaan, Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, Kitab Al Asyribah, dan Kitab Al
Faraidh.
Ibnu Hanbal
dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta
dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab
Mu’tazilah, Ibnu Hanbal menjadi korban mihnah (inquisition)
karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya pada masa
pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq ia harus mendekam dipenjara.
Namun setelah Al-Mutawakkil naik tahta Ibnu Hanbal memperoleh kebebasan,
penghormatan dan kemuliaan.
Dan dalam menanggapi Hadits
nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan
di akhirat), dan hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal berkata : “Kita
mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”.
Dari
pernyataan di atas tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh)
makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya
serta tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk.
b. Pemikiran Teori Ibn Hanbal
1) Tentang ayat-ayat
Mutasyabihat
Dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an , Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan
lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan
sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat Mustasyabihat. Hal itu terbukti ketika ditanya
tentang penafsiran “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas
Arsy.”(Q.s. Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab “Bersemayam diatas
arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas
dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.”
Dan ketika
ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit dunia), ru’yah
(orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang telapak kaki
Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari
penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak
bahwa Ibn hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist
mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan
pengertian lahirnya.
2) Tentang Status Al-Qur’an
Salah satu
persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara
beberapa kali, adalah tentang status al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang
karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qodim?
Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpina
khalifah Al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham mu’tazilah.
Ibn Hanbal
tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat qadim,
tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim disamping Tuhan, berarti
menduakan Tuhan, Sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang
tidak diampuni oleh Allah.
Ibn Hanbal
tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Itu dapat dilihat
dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq bin Ibrahim, gubernur Irak
dengan Ahmad Ibn Hanbal.Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan.
Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang
berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan rasul-Nya.
2. Ibn Taimiyah
a. Riwayat Singkat Hidup Ibn
Taimiyah
Nama lengkap
Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim binTaimiyah. Dilahirkan
di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiul awwal tahun 661 H dan meninggal di
penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah
menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum
muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin
Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib dan hakim di
kotanya.
Dikatakan
oleh Ibrahim Madkur bahwa ibn Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf
yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada akal. Ia
adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud, serta seorang
panglima dan penentang bangsa tartas yang berani. Selain itu ia dikenal sebagai
seorang muhadditsmufassir, faqih, teolog, bahkan memiliki
pengetahuan luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan khalifah
Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritikannya
ditujukan pula pada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama
sezamannya. Berulangkali Ibn Taimiyah masuk kepenjara hanya karena bersengketa
dengan para ulama sezamannya.
b.Pemikiran Teori Ibn Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti
dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut :
1. Sangat berpegang teguh pada
nash (Al-Quran dan Al-Hadits.
2. Tidak memberikan ruang gerak
kepada akal
3. Berpendapat bahwa Al-Quran
mengandung semua ilmu agama
4. Di dalam Islam yang
diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
5. Allah memiliki sifat yang
tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Dalam masalah perbuatan manusia
Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:
1. Allah pencipta segala
sesuatu termasuk perbuatan manusia.
2. Manusia adalah pelaku
perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna,
sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
3. Allah meridhai pebuatan baik
dan tidak meridlai perbuatan buruk.
Dalam masalah
sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan
Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan
metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan
mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.
Ibn Taimiyah
mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim,
kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiyah adalah seorang tekstualis. Oleh
sebab itu pandangannya dianggap oleh ulama mazhab Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi
sebagai pandangan tajsim (antropomorpisme) Allah, yakni
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat
bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut ini adalah pandangan
ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.
1) Percaya Sepenuh hati
terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati.
Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
a) Sifat salbiyah, yaitu
qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan
wahdanniyah.
b) Sifat ma’nawi, yaitu qudrah,
iradah, samea, bashar, hayat, ilmu, dan kalam.
c) Sifat khabariah
(sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis walaupun akal bertanya
tentang maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah dilangit;
Allah diatas Arasy; Allah turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh orang
beriman diakhirat kelak; wajah, tangan dan mata Allah
d) Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan
atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, rabb al-amin, khaliq
al-kaum. Dan falik al-habb wa al-nawa.
2) Percaya sepenuhnya terhadap
nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal,
al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum,
as-sami, dan al-bashir.
3) Menerima sepenuhnya
nama-nama Allah tersebut dengan tidak mengubah makna yang tidak dikehendaki
lafadz, tidak menghilangkan pengertian lafazd, tidak mengingkarinya, tidak
menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak menyerupai sifat-sifat-Nya dengan
sifat-sifat makhluknya.
Ibn Taimiyah
tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat. Menurutnya, ayat atau
Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya
dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.
E.
Perkembangan Salafiyah di Indonesia
Perkembangan
salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-gerakan persatuan islam (persis),
atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai
gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran
yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan
diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran
dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Dalam
perkembangan berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan
berkembang pula menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan, sebagaimana
Khawarrij, Mu’tazilah, Maturidiyah, dan kelompok-kelompok
Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahl-sunnah
wa al-jama’ah, di luar kelompok Syiah[15].
Sesungguhnya
keutamaan, kemuliaan dan keagungan para pengikut adalah menunjukan keagungan
orang yang diikutinya. Seluruh ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah adalah
pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, atau pengikut al-Imâm
Abu Manshur al-Maturidi. Dengan demikian tidak disangsikan lagi bahwa kedua
Imam ini adalah sebagai penegak tonggak dasar dari berkibarnya bendera
Ahlssunnah, yang oleh karenanya kedua Imam ini memiliki keutamaan dan kemuliaan
yang sangat agung.
Sebagaimana
telah kita sebutkan di atas bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Islam. Ini
berarti dalam menuliskan tokoh-tokoh Ahlussunnah akan meliputi berbagai sosok
agung antar generasi ke generasi dan dari masa ke masa. Melakukan “sensus”
terhadap mereka tidak akan cukup dengan hanya menuliskannya dalam satu jilid
buku saja, bahkan dalam puluhan jilid sekalipun. Sebagaimana anda lihat
sekarang ini berapa banyak karya-karya para ulama terdahulu yang ditulis dalam
mengungkapkan biografi ulama Ahlussunnah, termasuk dalam hal ini penulisan
biografi yang ditulis menurut komunitas tertentu sesuai disiplin mereka
masing-masing, seperti komunitas kaum sufi, komunitas ahli hadists, para ahli
tafsir, atau lainnya. Dapat kita pastikan bahwa kebanyakan ulama-ulama yang
telah dituliskan biografinya tersebut adalah para pengikut al-Imâm
al-Asy’ari.
Di antara
karya komprehensif dalam menuliskan biografi ulama Ahlussunnah pengikut al-Imâm
Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah kitab karya al-Imâm al-Hâfizh Abu
al-Qasim Ibn Asakir dengan judul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ
al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis Ibn Asakir untuk
membela al-Imâm al-Asy’ari dari tuduhan-tuduhan dusta yang dialamatkan
kepadanya. Di dalamnya, selain biografi al-Imâm al-Asy’ari, disebutkan
pula beberapa tokoh Ahlussunnah yang benar-benar telah “pasang badan” dalam
mengibarkan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari ini.
Karya lainnya
adalah tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki; putra dari Qâdlî
al-Qudlât al-Imâm al-Mujtahid Taqiyuddin as-Subki yang berjudul Thabaqât
asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ. Kitab ini sangat besar, dalam belasan jilid,
berisi penyebutan biografi para ulama terkemuka di kalangan madzhab
asy-Syafi’i. Dipastikan bahwa mayorits ulama yang disebutkan dalam kitab ini
adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari. Bahkan dalam bukunya ini al-Imâm
Tajuddin membuat pasal khusus dalam penyebutan tokoh-tokoh yang memiliki andil
besar dalam penyebaran akidah Ahlussunnah madzhab al-Imâm Abu al-Hasan
al-Asy’ari.
Berikut ini
kita sebutkan beberapa nama tokoh terkemuka yang memiliki andil besar dalam
penyebaran akidah Asy’ariyyah. Ulama kita di kalangan Ahlussunnah mengatakan
bahwa menyebut nama orang-orang saleh adalah sebab bagi turunnya segala rahmat
dan karunia Allah; Bi Dzikr ash-Shâlihîn Tatanazzal ar-Rahamât”. Dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa al-Imâm Ahmad ibn Hanbal berkata
tentang salah seorang yang sangat saleh bernama Shafwan ibn Sulaim: “Dia
(Shafwan ibn Sulaim) adalah orang saleh yang bila disebut namanya maka hujan
akan turun”. Karenanya, semoga dengan penyebutan orang-orang saleh berikut ini,
kita mendapatkan karunia dan rahmat dari Allah. Amin.
a)
Angkatan Pertama
Angkatan yang
semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu mereka yang belajar
kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya, di antaranya: Abu al-Hasan
al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H),
Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H), Abu Zaid al-Marwazi (w 371 H), Abu
Abdillah ibn Khafif asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H), Zahir ibn
Ahmad as-Sarakhsi (w 389 H), Abu Bakr al-Jurjani al-Isma’ili (w 371 H), Abu
Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan Abd al-Aziz ibn Muhammad yang dikenal
dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-Sulami an-Naqqasy (w 379 H), Abu
Abdillah al-Ashbahani (w 381 H), Abu Muhammad al-Qurasyi az-Zuhri (w 382 H),
Abu Manshur ibn Hamsyad (w 388 H), Abu al-Husain ibn Sam’un salah seorang sufi
ternama (w 387 H), Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi al-Jurjani (w 389 H), Abu
Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn Mujahid ath-Tha’i, Bundar ibn al-Husain ibn
Muhammad al-Muhallab yang lebih dikenal Abu al-Husain ash-Shufi (w 353
H), dan Abu al-Hasan Ali ibn Mahdi ath-Thabari.
b) Angkatan
Ke Dua
Di antara
angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah;
Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w 396 H), Abu Nashr ibn Abu Bakr
Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w 405 H), Abu ath-Thayyib ibn Abi Sahl
ash-Shu’luki, Abu al-Hasan ibn Dawud al-Muqri ad-Darani, al-Qâdlî Abu
Bakar Muhammad al-Baqillani (w 403 H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H), Abu Ali
ad-Daqqaq; seorang sufi terkemuka (w 405 H), Abu Abdillah al-Hakim
an-Naisaburi; penulis kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhain, Abu Sa’ad
al-Kharqusyi, Abu Umar al-Basthami, Abu al-Qasim al-Bajali, Abu al-Hasan ibn
Masyadzah, Abu Thalib al-Muhtadi, Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili, Abu Hazim
al-Abdawi al-A’raj, Abu Ali ibn Syadzan, al-Hâfizh Abu Nu’aim
al-Ashbahani penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’
(w 430 H), Abu Hamid ibn Dilluyah, Abu al-Hasan al-Balyan al-Maliki, Abu al-Fadl
al-Mumsi al-Maliki, Abu al-Qasim Abdurrahman ibn Abd al-Mu’min al-Makki
al-Maliki, Abu Bakar al-Abhari, Abu Muhammad ibn Abi Yazid, Abu Muhammad ibn
at-Tabban, Abu Ishaq Ibrahim ibn Abdillah al-Qalanisi.
c) Angkatan
Ke Tiga
Di antaranya;
Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-Naisaburi, Abd al-Wahhab
al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu Thahir ibn Khurasyah, Abu Manshur Abd
al-Qahir ibn Thahir al-Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn
al-Firaq, Abu Dzarr al-Harawi, Abu Bakar ibn al-Jarmi, Abu Muhammad
Abdulah ibn Yusuf al-Juwaini; ayah Imam al-Haramain (w 434 H), Abu al-Qasim ibn
Abi Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi, Abu Ja’far as-Simnani al-Hanafi, Abu Hatim
al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri, Abu Muhammad al-Ashbahani yang dikenal
dengan sebutan Ibn al-Labban, Sulaim ar-Razi, Abu Abdillah al-Khabbazi, Abu
al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu al-Qasim Abd al-Jabbar ibn Ali al-Isfirayini, al-Hâfizh
Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w
458 H), dan Abu Iran al-Fasi.
d) Angkatan
Ke Empat
Di antaranya;
al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim Abd al-Karim
ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah (w
465 H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini
penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min
al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh
Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn
Abdullah al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H), Abu
Sa’id al-Mutawalli (w 478 H), Nashr al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu
Ishaq at-Tunusi al-Maliki, Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H)
pimpinan ulama madzhab Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi, dan Abu
Bakar an-Nashih al-Hanafi.
e) Angkatan
Ke Lima
Di antaranya;
Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad
al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi (w 508 H),
asy-Syasyi, Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim yang dikenal dengan Abu Nashr
al-Qusyairi (w 514 H), Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-Dibaji, Abu
al-Abbas ibn ar-Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi Shalih
al-Mu’adz-dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-Ashbahani,
Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w 538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah
an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-Isfirayini, Nashrullah al-Mishshishi, Abu
al-Walid al-Baji, Abu Umar ibn Abd al-Barr al-Hâfizh, Abu al-Hasan
al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn Asakir (w 571 H), al-Hâfizh
Abu al-Hasan al-Muradi, al-Hâfizh Abu Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh
Abu Thahir as-Silafi, al-Qâdlî ‘Iyadl ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533
H), Abu al-Fath Muhammad ibn Abd al-Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis
kitab al-Milal Wa an-Nihal, as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578
H) perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, as-Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w
589 H) yang telah memerdekakan Bait al-Maqdis dari bala tentara Salib, al-Hâfizh
Abd ar-Rahman ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi (w 597 H).
f) Angkatan
Ke Enam
Di antaranya;
Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin al-Amidi (w 631
H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660 H), Amr ibn
al-Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn Ahmad al-Hashiri (w 636 H)
pempinan ulama madzhab Hanafi di masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn Daqiq
al-Ied (w 702 H), Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd
al-Kafi as-Subki (w 756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali
ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin
Sulaiman ibn Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib,
Jamaluddin az-Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal dengan
sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi penulis kitab
Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal dengan at-Tafsîr
al-Qurthubi (w 671 H), Syihabuddin Ahmad ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi
yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), Syamsuddin as-Saruji
al-Hanafi, Syamsuddin ibn al-Hariri al-Hanafi, Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh
Yahya ibn asy-Syaraf an-Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim
ibn al-Hajjâj (w 676 H), al-Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun
(w 741 H), al-Hâfizh Ahmad ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan
as-Samin al-Halabi (w 756 H), al-Hâfizh Shalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i
(w 761 H), Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H),
Mas’ud ibn Umar at-Taftazani (w 791 H).
g) Angkatan
Ke Tujuh
al-Hâfizh
Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H), Taqiyyuddin Abu Bakr
al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-Akhyâr (w 829 H), Amîr
al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Hâfizh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani;
penulis kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 852 H), Muhammad
ibn Muhammad al-Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w
879 H), Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi
Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H), Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad
al-Mahalli (w 864 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis kitab
tafsir Nazhm ad-Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf
as-Sanusi; penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).
h) Angkatan
ke Delapan
Al-Qâdlî
Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H), al-Hâfizh
Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-Hâfizh Jalaluddin
Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H), Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad
ibn Muhammad al-Qasthallani; penulis Irsyâd as-Sâri Bi Syarh Shahîh
al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya al-Anshari (w 926 H), al-Hâfizh
Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan al-Hâfizh Ibn
Thulun al-Hanafi (w 953 H).
i)
Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya
Abd al-Wahhab
asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan
sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H), Mulla Ali al-Qari (w 1014 H), Burhanuddin
Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan al-Laqqani; penulis Nazham Jawharah at-Tauhîd
(w 1041 H), Ahmad ibn Muhammad al-Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham
Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041 H), al-Muhaddits Muhammad ibn Ali
yang lebih dikenal dengan nama Ibn Allan ash-Shiddiqi (w 1057 H), Kamaluddin
al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H), Muhammad ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122
H), as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad al-Hadlrami al-Husaini;
penulis Râtib al-Haddâd (1132 H), Muhammad ibn Abd al-Hadi as-Sindi; penulis
kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138 H), Abd al-Ghani an-Nabulsi (w
1143 H), Abu al-Barakat Ahmad ibn Muhammad ad-Dardir; penulis al-Kharîdah
al-Bahiyyah (w 1201 H), al-Hâfizh as-Sayyid Muhammad Murtadla
az-Zabidi (w 1205 H), ad-Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm al-Barâhîn (w
1230 H), Muhammad Amin ibn Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abidin
al-Hanafi (w 1252 H).
Nama-nama
ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai sekitar abad 12 hijriyyah,
dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila hendak kita sebutkan satu persatu,
termasuk yang berada di bawah tingkatan mereka dalam keilmuannya, maka sangat
banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya, siapa pula yang sanggup menghitung
jumlah bintang di langit, membilang butiran pasir di pantai? kita akan
membutuhkan lembaran kertas yang sangat panjang.[16]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terminilogi Ahlusunnah wal jama’ah (As-waja) secara
baku belum dijumpai dalam referensi lama (maraji’awwaliyyah).
Bahkan pada masa Al-Asy’ari (w. 324 H) yang oleh banyak kalangan dianggap
sebagai pendiri mazhab Ahlusunnal wal Jama’ah, belum juga ditemukan istilah
tersebut. Pengenalan istilah tersebut sebagai suatu aliran dalam Islam baru
nampak pada ashab al-Asy’ary atau
sering disebut Asya’irah (Sunni).
Meskipun
demikian, pernyataan Aswaja
sebenarnya barulah pada taraf ‘klaim’ saja. Sehingga sampai saat ini belum
ditemukan definisi terminologi yang baku tentang Aswaja. Bahkan definisi tersebut juga belum ditemukan pada orang
yang mengklaim dirinya Sunni. Definisi Aswaja
yang sering diungkapkan adalah ma ana ‘alaihi wa ashhab (terjemahan
bebas:jalan yang kami tempuh). Tentu ini bukanlah definisi, karena cakupannya
bisa diklaim oleh semua madzab dan aliran Islam yang ada di dunia.
Secara
garis besar, dapat ditarik kesimpulan bahwa Aswaaja adalah orang-orang yang
memikimedote berfikir keagamaan yang mencakupsemua aspek kehidupan yang
berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, keseimbangan dan toleran. Definisi ini
mungkin berlainan dengan definisi yang selama ini berkembang di masyarakat.
Oleh karena itu reorientasite terhadap konsep Aswaja perlu dikaji kembali
dengan tidak mengesampingkan sumbangan pemikiran dari ulama-ulama terdahulu.
Disamping
Aswaja, dalam kalangan Islam banyak dikenal faksi-faksi lain yang permunculannya
disebabkan oleh gejolak yang terjadi dalam tubuh umat Islam sendiri. Faksi-faksi tersebut diantaranya adalah:
Syi’ah, Khawarij, jabariyah, Qadariyah Ula, Murji’ah, dan lain sebagainya.
Dengan
banyalknya faksi sebagai mana tersebut
di atas, diharapka tidak
menimbulkan perpecahan diantara umat islam sendiri yang justru merugika
diri sendiri. Tetapi, mudah-mudahan perbedaan tersebut akan menimbulkan rahmad
sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW ikhtilafu
ummati rahmah dan sekaligus dapat memperluas wacana pemahaman ke-Islaman. Wallahu a’lamu bishawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Ahlusunnah wal Jama’ah (Yogyakarta:1998) hlm 30
Ibid . hlm 24-26-28-30-31-92-93-94-95
Muhammad Abdul Hadi Al Mishri, manhaj dan Aqidah Ahlusunnah wal Jama’ah (Jakarta:1992), hlm 86
Muhammad Abdul Hadi Al Mishri, Ahlusunnah wal Jama’ah (Surabaya: Central media). 1990, hlm 91
Muhammad Adnan, Ke-NU-an,(Semarang:
2009) hlm 23
http://abasawatawalla01,
blogspot.co.id/2013/06/pemikiran-teologi-Ahl-al-Sunnah-wa-al. Html
http://id-id.facebook.com/notes/aqidah-ahlusunnah-Allah-ada-tanpa-tempat/tokoh-tokoh-ahlusunnah-wal-jama’ah-dari-masa-ke-masa/568553366494910
[1]Abdurrahman Wahid,Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah(Yogyakarta:1998)hlm.30
[2]Ibid
hlm.30
[4]Muhammad Adnan,Ke-NU-an,(Semarang:2009),hlm.23
[5]Ibid.hlm.24
[6]Ibid.hlm.26
[7]Ibid.hlm.28
[8]Ibid.hlm.30
[9]Ibid.hlm.31
[10]Muhammad Abdul Hadi Al-Misri,AhluSunnah Wal Jama’ah,(Surabaya:Central
Media),1990,hlm.91
[11]Ibid.hlm.92
[12]Ibid.hlm.93
[13]Ibid.hlm.94
[14]Ibid.hlm.95
[15]http://abasawatawalla01.blogspot.co.id/2013/06/pemikiran-teologi-ahl-al-sunnah-wa-al.html
[16]
https://id-id.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/tokoh-tokoh-ahlussunnah-wal-
jamaah-dari-masa-ke-masa/568553366494910
Tidak ada komentar:
Posting Komentar