Kamis, 01 Desember 2016

ilmu tauhid



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebenarnya istilah Ahlusunnah Waljamaah (Aswaja) belum dikenal pada masa Al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) tokoh yang dianggap sebagai salah satu pendiri paham ini. Bahkan para pengikut Al-Asy’ari sendiri, seperti Al-Baqilani (wafat 403 H), Al-Baghdadi (wafat 429 H), Al-Ju’aini (wafat 478 H), Al-Ghozali (wafat 505 H), dan Asy-Syahrassani (wafat 548) juga belum pernah menyebutkan masalah penamaan Ahlusunnah Waljamaah. Pengakuan secara tidak langsung mengenai paham Ahlusunnah Waljamaah baru di kemukakan Azzabidi (wafat 1205 H) yang menyatakan bahwa apabila disebut ahli sunnah waljamaah maka yang di maksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan al-Maturidi. Hal ini berarti paham ahlusunnah waljamaah baru dikenal jauh sesudah wafatnya tokoh yaitu dianggap sebagai pendirinya, yaitu Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan Ahlus Sunnah Waljamaah?
2.      Bagaimana penerapan paham Ahlus Sunnah Waljamaah?
3.      Bagaimana ciri perilaku Ahli Sunnah Waljamaah?
4.      Apa pengertian salaf dan khalaf?
5.      Siapa saja tokoh-tokoh Ahlussunnah Waljama’ah?












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Ahlus Sunnah Waljamaah
Menurut banyak referensi (maraji’) sejarah (tarikh) Islam, kehadiran Islam sejak semula telah syarat dengan muatan-muatan politis. Pakar sejarah (marrikh) banyak menuturkan kisah ‘Afif Alkindi. Sebagai seorang pedagang, ia pernah datang ke Makkah saat musim haji, kemudian ia menjumpai Al-Abbas (paman Nabi SAW). Pda saat itu ia menyaksikan seorang laki-laki yang sedang sholat menghadap kiblat, lalu di susul seorang perempuan dan seorang pemuda yang turut sholat bersamanya. Ia bertanya kepada Al-Abbas : “ agama apakah ini?”. Abbas menjawab : ini adalah Muhammad Ibnu Abdullah, putra saudara laki-lakiku dia menganggap dirinya Rasullah SAW, berobsesi untuk menggulingkan Persia dan Romawi[1].
Kisah ini seringkali dianggap sebagai bukti bahwa dakwah Rasullah SAW, pertam kali telah bertendensi politik, yakni obsesi untuk menaklukkan Imperium, Persia, dan Romawi (Bizantium) sebagai adikuasa dunia saat itu. Oleh karena itu, wajarlah apabila persoalan yang muncul dalam kajian faksi-faksi Islam (al-Firaq al-Islamiyyah) bermula dari masalah politik, kemudian merembet pada persoalan keyakinan(aqidah).
Secara sosiologis karakter dan lingkungan Arab yang dikelilingin padang pasir juga mempengaruhi watak bangsa Arab. Watak alami pasir itu selain susah disatukan juga bersifat tidak stabil atau labi. Watak ini tidak secara langsung menjadikan bangsa Arab sulit kalau tidak mustahil bersatu. Watak itu juga membuat mereka menjadi bangsa yang memiliki fanatisme tinggi sekaligus fanatisme yang mengakar. Tidak heran jika mereka saling bermusuhan antar suku (kabilah) meskipun hanya mengenai urusan sepele. Misalnya hanya karena persoalan salah menghormati tamu berkobarlah perang Fijar[2].
Ditengah-tengah bangsa seperti itulah Allah SWT, mengutus Rasulullah SAW, untuk membawa misi Islam (risalah Islamiyyah) yang lebih menekankan rehabilitasi moral (akhlaq), persaudaraan (ukhuwah), dan persatuan. Selama kurang lebih 23 tahun Beliau mampu meredam fanatisme kesukuan yang telah tertanam dalam diri mereka menjadi fanatisme Islam. Mereka semula bangga dengan gelar kesukuan seperti Al-Taymi, al-‘Adiy, al-Najjariy dan sebagainya, berubah menjadi gelar yang bertalian dengan Islam seperti al-Shiddiq, al-Faruq, al-Mutadha dan sebagainya.
Menurut Ibnu Taimiyah, madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah madzhab yang sudah ada sejak dulu. Ia sudah dikenal sebelum Allah menciptakan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad. Ahlu sunnah ialah madzhab sahabat yang telah menerimanya dari Nabi mereka. Barang siap menentang itu, menurut pandangan ahlu sunnah, berarti ia mambuat bid’ah. Mereka telah sepakat bahwa ijma’ sahabat adalah hujjah, tapi mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan ijma’ orang0orang sesudah sahabat. (Minhaj as-Sunnah 2:482,Tahqiq Muhammad Rasyad Salim).
Adapun mengenai awal penamaan ahlus sunnah wal jama’ah atau ahli hadits ialah ketika telah terjadinya perpecahan, munculnya berbagai golongan, serta banyaknya bid’ah dan penyimpangan. Pada saat itulah Ahli Sunnah menampakkan identitasnya yang berbeda dengan yang lain, baik dalam aqidah maupun manhaj mereka. Namun pada hakikatnya, mereka itu hanya merupakan proses kelanjutan dari apa yang dijalankan Rasulullah SAW dan para sahabatnya[3].
B.     Penerapan Paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
       Dimanpun dan kapanpun ahlus sunnah wal jama’ah harus menjadi sebuah pegangan dan tuntunan hidup bagi semua masyrakat terutama masyarakat Nahdliyin, dengan demikian generasi penerus kaum Nahdliyin baik dari anak-anak sampai dewasa harus mengetahui, memahami baik yang tersurat maupun tersirat, dan melakukan atau menjalankan apa yang menjadi tuntunan serta menjadi sebuah aqidah yang harus mendarah daging kedalam sanubari bagi semua warga Nahdliyin[4]
1.      Paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai pegangan dalam kehidupan keluarga atau individu
          Sebagaimana telah kita pahami diats bahwa ahlus sunnah wal jama’ah harus menjadi tuntunan bagi semua orang maupun masyarakat terutama kaum Nahdliyin, dan ada beberapa paham yang harus menjadi pegangan diantaranya adalah :
a.     Ajaran ahlus sunnah wal jama’ah di bidang aqidah
                           Jam’iyah Nahdhotul Ulama penganut islam yang berusaha melestarikan, membela dan mengembangkan Islam yang beraliran ahlus sunnah wal jama’ah. Golongan ahlus sunnah wal jama’ah merupakan kaum yang menganut i’tiqod dan ‘amaliyah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.[5]
b.    Ajaran ahlussunah wal jama’ah di bidang syariat
                 Dalam bidang syariat (fiqih, hukumIslam) kaum ahlu sunnah wal jama’ah berpedoman pada empat madzhab, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Namun Nahdhotul Ulama sebagai oraganisasi yang berhaluan Islam ahlus sunnah wal jama’ah di kalangan pengikutnya sebagian besar mengikuti madzhab Syafi’i[6]
c.    Ajaran ahlus sunnah wal jama’ah di bidang akhlaq
           Kaum ahlus sunnah wal jama’ah dalam bidang akhlaq atau tasawuf mengikuti dua pemikiran, tasawuf yaitu Abu Qosim Al Junaidi dan Imam Ghozali. Dalam kitabnya, “ kimiya’u as sa’adah” Imam Ghozali berkata : “bahwa tujuan memperbaiki akhlaq adalah untuk membersihkan hati, kotoran, hawa nafsu dan amarah. Sehingga hati menjadi suci bagaikan cermin yang dapat menerima nur cahaya Tuhan”[7]
2.        Ajaran ahlus sunnah wal jama’ah dalam masyarakat
            Dalam bidang sosial kemasyarakatan dan politik kaum ahlus sunnah ewal jama’ah mempunyai prinsip dan ciri khas yang berbeda dengan golongan lain. Hal ini tampak jelas dalam bebereapa masalah, antara lain :
a.       Maslah khilafah
            Dalam masalah kepemimpinan dan pemerintahan wajib di tegakkan sebagai pewaris kepemimpinan Rasulullah SAW. Namun, bentuk kongkritnya diserahkan kepada manusia sebab dalam mengurus urusan dunia ajaran Islam diserahkan pada manusia dengan jalan musyawareah untuk memperoleh hasil yang terbaik dan bermanfaat[8].
b.      Masalah persaudaraan dan perbedaan pendapat
            Menurut ahlussunah wal jama’ah bahwa semua muslim adalah bersaudara. Maka jika terjadi perbedaan pendapat (perselisihan) diusahakan islah (berdamai) menurut prosedur yang telah diterapkan. Jika terjadi perselisihan dan kesalahn harus dicari jalan keluarnya dan diperbaiki menurut tata cara yang disepakati jika perlu diberi sanksi hukum menurut aturan yang berlaku. Misalnya, jika sampai hukuman mati dijatuhkan, jenazah orang tersebut dianggap jenazah muslim yang harus diperlakukan menurut Islam.
c.       Masalah dosa
            Perbuatan dosa adalah perbuatan yang tidak berdasarkan perintah agama dan bertentangan dengan ajarannya. Ahlus sunnah wal jama’ah berpendirian bahwa setiap orang yang meyakini kebenaran syahadatain, betapapun besar dosanya, dia tetap dianggap seorang muslim. Agar kita tidak  terjerumus dalam perbuatan dosa baik kecil maupun besar, maka perlu menyadari akibat perbuatan dosa yang kita lakukan. Dengan demikian kita dapat mengendalikan hawa nafsu dan berfikir lebih jauh setiap tindakan yang akan dilakukan dan akibatnya.
            Adapun orang yang rusak moralnya, perlu dinasihati berdasarkan al amru bil ma’rif wa nahyu anil munkari atau diberi sanksi hukum menurut aturan yang berlaku. Tetapi tidak sampai mengkafirkannya sebab ia masih tergolong kaum yang beriman. Demikian prinsip-prinsip menurut ajaran ahlus sunnah wal jama’ah yang menjadi landasan pegangan hidup dalam bidang sosial kemasyarakatan dan politik[9]
C.    Ciri Khas Perilaku Ahli Sunnah Wal Jama’ah
1.)    Ahlus sunnah adalah sebaik-baik manusia bagi manusia
                      Sebagaimana kita lihat, ahli sunnah wal jama’ah adalah pembawa warisan kenabian dalam segi ilmiah dan amaliahnya. Sedang segi amaliyah yang paling menonjol dalam petunjuk kenabian adalah segi akhlaq. Karena itu, akhlaq kenabian termasuk rahmat dan cinta kebaikan bagi orang-orang, menahan gangguan mereka dan bersabar dalam menyeru mereka merupakan sumber darimana ahli sunnah mendapatkan ciri khas mereka dalam perilaku yang tidak kurang pentingnya dalam pandangan kebenaran dari warisan ilmu dan petunjuk yang di khususkan Allah bagi golongan yang selamat ini dengan karunia dan rahmatnya[10].
2.)    Ahli sunnah mengikuti al-qur’an dan sunnah dalam semua hubungan mereka
                      Dalam perilakunya, ahlus sunnah wal jama’ah mengikuti al-qur’an dan sunnah, baik dalam hubungan mereka dengan sesamanya atau orang lain :
            Ahlus sunnah menyuruh bersabar disaat menghadapi cobaan, dan bersyukur disaat mengalami kesejahteraan, rela dengan keputusan Allah dan menyuruh kepada budi pekerti mulia serta perbuatan baik. Mereka meyakini makna sabda Nabi saw : “orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya”. Mereka menganjurkan, agar engkau menyambung hubungan dengan siapa yang memutuskan hubungan denganmu, memberi orang yang tidak mau memberimu, memaafkan orang yang mendzalimi kamu. Mereka menyuruh berbakti kepada orang tua, menyambung hubungan dengan kerabat, bertetangga yang baik, berbuat baik kepada anak yatim, orang-orang miskin dan musyafir, bersikap lemah lembut kepada sahayanya. Mereka melarang membanggakan diri dan bersikap sombong, berbuat dzalim, menganiaya makhluk dengan atau tanpa hak. (juz 9, hlm 158)[11].
3.)    Ahlus sunnah adalah mereka yang menyuruh berbuat yang makruf dan melarang yang mungkar disamping memelihara kesatuan
                      Ahlus sunnah menyuruh berbuat yang makruf dan melarang yang mungkar. Inilah prinsip pertama dan kaidah besar yang menjadikan mereka sebaik-baik umat yang dikeluarkan bagi manusia. Tetapi, mereka menjalankan hal itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan syariat. Mereka menyuruh menunaikan haji dan berjihat, menunaikan sholat jum’at dan ied bersama oara umara (penguasa) yang salih maupun yang durjana dan memelihara kesatuan serta melakukan nasihat kepada umat. Mereka meyakini makna sabda Nabi saw : “orang mukmin terhadap mukmin itu seperti bangunan yang sebagiannya menguatkan sebagian lainnya.” Dan beliau mengaitkan jari-jarinya[12].
4.)    Ahlus sunnah wal jama’ah memikul amanat ilmu dan pemeliharaan kesatuan
            Jika demikian, ahlus sunnah wal jama’ah memikul amanat ganda yang salah satunya tidak kurang beratnya dari yang lain. Yang pertama adalah amanat ilmu dan menjalannya, berdakwah dan berjihat. Yang lain adalah amanat memelihara kesatuan golongan islam dengan arti yang umum dan menyeluruh. Dalam hal itu, mereka berjalan dengan timbangan yang akurat diatas pertumbuhan syara’ yang bijaksana dan bebas dari kekuasaan hawa nafsu, tradisi serta kekuasaan madzhab atau thoriqot atau kelompok dan sebagainya[13].
5.)    Ahlus sunnah saling mendukung secara umum dan saling memaafkan
            Ahlus sunnah wal jama’ah saling mendukung tanpa memandang afiliasi mereka yang berbeda-beda kepada suatu partai atau kecenderungan atau ijtihat tertentu. Mereka, pada mulanya adalah satu golongan yang saling memaafkan dan tidak terburu-buru melancarkan tuduhan atau saling menganggap sesat satu sama lain.
            Yang wajib adalah mendahulukan siapa yang didahulukan Allah dan Rosul-Nya, mengakhirkan siapa yang diakhirkan Allah dan Rosul-Nya, mencintai apa yang dicintai Allah dan Rosul-Nya, melarang apa yang dilarang Alaah dan Rosul-Nya serta meridhai apa yang diridhai Allah dan Rosul-Nya.
            Hendaklah kaum muslimin bersatu. Bagaimana halnya jika sebagian orang menganggap sesat sebagian lainnya dan mengkafirkannya, sementara kebenaran ada padanya sesuai dengan Al-Qur’an serta Sunnah. Walaupun saudaranya yang muslim telah keliru dalam suatun urusan agama, namun tidaklah setiap orang yang keliru itu kafir atau fasiq. Bahkan Allah telah memaafkan umat ini dari kekeliruan dan kealpaan. (juz 3, hal. 426)[14].
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka yang selalu berpegang teguh kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat, tabi’in, dan para pelopor kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti itu karena mereka menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka untuk merujuk kepadanya lahir dan batin.
Dalam hal ini ada dua versi yaitu: Salaf dan Khalaf, namun di sini secara khusus hanya membahas tentang salaf.
D.     Pengertian Salaf
Kata salaf secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan. Berkata Ibnul Mandzur : “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang lebih banyak”. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-Salafush Shalih. Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus untuk para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikut sertakan karena mengikuti mereka. Al-Qalsyaany berkata dalam Tahrirul Maqaalah min Syarhir Risalah : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah SWT telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan meridhoi mereka sebagai imam-imam umat.
Salafiyah adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang mengacu kepada sikap atau pendirian yang dimiliki para ulama generasi salaf itu. Kata salafiyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘terdahulu’, yang maksudnya ialah orang terdahulu yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad SAW, Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in.
Aliran salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah.
Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur". Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, diantaranya adalah:
1. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’, tabi’ tabi’in para pemuka abad ke-3 H, dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula uluma-ulama shaleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.
2. Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antropomorphisme).
3. Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya.
Konsep aqidah salaf atau disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode Alquran yang relevan dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan para penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang terkandung pada ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya.Hasan al-Banna kemudian menguatkan sikap tentang hal yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut merupakan hal yang dipermasalahkan oleh kaum salaf dan kaum khalaf, kemudian Hasan al-Banna menguatkan pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat atau Hadis yang membahas tentang sifat Tuhan tidak harus diinterpretasi atau dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk mengimani Tuhan.
Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut :
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah(aql).
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4. Mereka mengimani ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Bila Salafiyahmuncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof Islam dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya.
            Ulama-ulama Salaf dan Beberapa Pemikirannya
1. Imam Ahmad Bin Hanbali
a. Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal
Imam Hanbal nama lengkapnya ialah Al-imam Abu abdillah Ahmad ibn Hanbal Hilal Addahili As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M.Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbal karena merupakan pendiri madzhab Hambali.
Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar, sedangkan ibu beliau bernama Syahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sahawah bin Hindur Asy-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka kaum bani Amir.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja, Namun ia telah memberikan pendidikan Al-Qur’an pada Ibnu Hanbal pada usia 16 tahun ia belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama’-ulama’ Baghdad. Lalu mengunjungi ulama’-ulama’ terkenal di khuffah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah : Hammad bin Khallid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq bin Humam, dan  Musa bin Thariq. Dari guru-gurunya Ibn Hanbal mempelajari ilmu fiqh, kalam, ushul, dan bahasa Arab.
Karya beliau sangat banyak, di antaranya : Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits, Kitab At-Tafsir, Kitab Az-Zuhud, Kitab Fadhail Ahlil Bait, Kitab Jawabatul Qur’an, Kitab Al Imaan, Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, Kitab Al Asyribah, dan Kitab Al Faraidh.
Ibnu Hanbal dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tazilah, Ibnu Hanbal menjadi korban mihnah (inquisition) karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya pada masa pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq ia harus mendekam dipenjara. Namun setelah Al-Mutawakkil naik tahta Ibnu Hanbal memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan.
Dan dalam menanggapi Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal berkata : “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”.
Dari pernyataan di atas tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk.
b. Pemikiran Teori Ibn Hanbal
1) Tentang ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an , Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat Mustasyabihat. Hal itu terbukti ketika ditanya tentang penafsiran “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.”(Q.s. Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab “Bersemayam diatas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.”
Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.
2) Tentang Status Al-Qur’an
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qodim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpina khalifah Al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham mu’tazilah.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, Sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.
Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Itu dapat dilihat dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq bin Ibrahim, gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal.Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan rasul-Nya.
2. Ibn Taimiyah
a. Riwayat Singkat Hidup Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim binTaimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiul awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib dan hakim di kotanya.
Dikatakan oleh Ibrahim Madkur bahwa ibn Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhadditsmufassir, faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritikannya ditujukan pula pada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama sezamannya. Berulangkali Ibn Taimiyah masuk kepenjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.
b.Pemikiran Teori Ibn Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut :
1. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits.
2. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal
3. Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
4. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
5. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:
1. Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
2. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
3. Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.
Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.
Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiyah adalah seorang tekstualis. Oleh sebab itu pandangannya dianggap oleh ulama mazhab Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (antropomorpisme) Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut ini adalah pandangan ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.
1) Percaya Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
a) Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdanniyah.
b) Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea, bashar, hayat, ilmu, dan kalam.
c) Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis walaupun akal bertanya tentang maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh orang beriman diakhirat kelak; wajah, tangan dan mata Allah
d) Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, rabb al-amin, khaliq al-kaum. Dan falik al-habb wa al-nawa.
2) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.
3) Menerima sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak mengubah makna yang tidak dikehendaki lafadz, tidak menghilangkan pengertian lafazd, tidak mengingkarinya, tidak menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak menyerupai sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.
Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.
E.      Perkembangan Salafiyah di Indonesia
Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-gerakan persatuan islam (persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan berkembang pula menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan, sebagaimana Khawarrij, Mu’tazilah, Maturidiyah, dan kelompok-kelompok Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahl-sunnah wa al-jama’ah, di luar kelompok Syiah[15].
 Sesungguhnya keutamaan, kemuliaan dan keagungan para pengikut adalah menunjukan keagungan orang yang diikutinya. Seluruh ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah adalah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, atau pengikut al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi. Dengan demikian tidak disangsikan lagi bahwa kedua Imam ini adalah sebagai penegak tonggak dasar dari berkibarnya bendera Ahlssunnah, yang oleh karenanya kedua Imam ini memiliki keutamaan dan kemuliaan yang sangat agung. 
Sebagaimana telah kita sebutkan di atas bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Islam. Ini berarti dalam menuliskan tokoh-tokoh Ahlussunnah akan meliputi berbagai sosok agung antar generasi ke generasi dan dari masa ke masa. Melakukan “sensus” terhadap mereka tidak akan cukup dengan hanya menuliskannya dalam satu jilid buku saja, bahkan dalam puluhan jilid sekalipun. Sebagaimana anda lihat sekarang ini berapa banyak karya-karya para ulama terdahulu yang ditulis dalam mengungkapkan biografi ulama Ahlussunnah, termasuk dalam hal ini penulisan biografi yang ditulis menurut komunitas tertentu sesuai disiplin mereka masing-masing, seperti komunitas kaum sufi, komunitas ahli hadists, para ahli tafsir, atau lainnya. Dapat kita pastikan bahwa kebanyakan ulama-ulama yang telah dituliskan biografinya tersebut adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari.
Di antara karya komprehensif dalam menuliskan biografi ulama Ahlussunnah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah kitab karya al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Qasim Ibn Asakir dengan judul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis Ibn Asakir untuk membela al-Imâm al-Asy’ari dari tuduhan-tuduhan dusta yang dialamatkan kepadanya. Di dalamnya, selain biografi al-Imâm al-Asy’ari, disebutkan pula beberapa tokoh Ahlussunnah yang benar-benar telah “pasang badan” dalam mengibarkan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari ini.
Karya lainnya adalah tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki; putra dari Qâdlî al-Qudlât al-Imâm al-Mujtahid Taqiyuddin as-Subki yang berjudul Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ. Kitab ini sangat besar, dalam belasan jilid, berisi penyebutan biografi para ulama terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi’i. Dipastikan bahwa mayorits ulama yang disebutkan dalam kitab ini adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari. Bahkan dalam bukunya ini al-Imâm Tajuddin membuat pasal khusus dalam penyebutan tokoh-tokoh yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah Ahlussunnah madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Berikut ini kita sebutkan beberapa nama tokoh terkemuka yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah Asy’ariyyah. Ulama kita di kalangan Ahlussunnah mengatakan bahwa menyebut nama orang-orang saleh adalah sebab bagi turunnya segala rahmat dan karunia Allah; Bi Dzikr ash-Shâlihîn Tatanazzal ar-Rahamât”. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa al-Imâm Ahmad ibn Hanbal berkata tentang salah seorang yang sangat saleh bernama Shafwan ibn Sulaim: “Dia (Shafwan ibn Sulaim) adalah orang saleh yang bila disebut namanya maka hujan akan turun”. Karenanya, semoga dengan penyebutan orang-orang saleh berikut ini, kita mendapatkan karunia dan rahmat dari Allah. Amin.
a)      Angkatan Pertama
Angkatan yang semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu mereka yang belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya, di antaranya: Abu al-Hasan al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H), Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H), Abu Zaid al-Marwazi (w 371 H), Abu Abdillah ibn Khafif asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H), Zahir ibn Ahmad as-Sarakhsi (w 389 H), Abu Bakr al-Jurjani al-Isma’ili (w 371 H), Abu Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan Abd al-Aziz ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-Sulami an-Naqqasy (w 379 H), Abu Abdillah al-Ashbahani (w 381 H), Abu Muhammad al-Qurasyi az-Zuhri (w 382 H), Abu Manshur ibn Hamsyad (w 388 H), Abu al-Husain ibn Sam’un salah seorang sufi ternama (w 387 H), Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi al-Jurjani (w 389 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn Mujahid ath-Tha’i, Bundar ibn al-Husain ibn Muhammad al-Muhallab yang lebih dikenal Abu al-Husain ash-Shufi  (w 353 H), dan Abu al-Hasan Ali ibn Mahdi ath-Thabari.
b)      Angkatan Ke Dua
Di antara angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah; Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w 396 H), Abu Nashr ibn Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w 405 H), Abu ath-Thayyib ibn Abi Sahl ash-Shu’luki, Abu al-Hasan ibn Dawud al-Muqri ad-Darani, al-Qâdlî Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w 403 H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H), Abu Ali ad-Daqqaq; seorang sufi terkemuka (w 405 H), Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi; penulis kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhain, Abu Sa’ad al-Kharqusyi, Abu Umar al-Basthami, Abu al-Qasim al-Bajali, Abu al-Hasan ibn Masyadzah, Abu Thalib al-Muhtadi, Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili, Abu Hazim al-Abdawi al-A’raj, Abu Ali ibn Syadzan, al-Hâfizh Abu Nu’aim al-Ashbahani penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’ (w 430 H), Abu Hamid ibn Dilluyah, Abu al-Hasan al-Balyan al-Maliki, Abu al-Fadl al-Mumsi al-Maliki, Abu al-Qasim Abdurrahman ibn Abd al-Mu’min al-Makki al-Maliki, Abu Bakar al-Abhari, Abu Muhammad ibn Abi Yazid, Abu Muhammad ibn at-Tabban, Abu Ishaq Ibrahim ibn Abdillah al-Qalanisi.

c)      Angkatan Ke Tiga
Di antaranya; Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-Naisaburi, Abd al-Wahhab al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu Thahir ibn Khurasyah, Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq, Abu Dzarr al-Harawi, Abu Bakar ibn al-Jarmi, Abu Muhammad Abdulah ibn Yusuf al-Juwaini; ayah Imam al-Haramain (w 434 H), Abu al-Qasim ibn Abi Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi, Abu Ja’far as-Simnani al-Hanafi, Abu Hatim al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri, Abu Muhammad al-Ashbahani yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Labban, Sulaim ar-Razi, Abu Abdillah al-Khabbazi, Abu al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu al-Qasim Abd al-Jabbar ibn Ali al-Isfirayini, al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan Abu Iran al-Fasi.
d)     Angkatan Ke Empat
Di antaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah (w 465 H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini  penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H), Abu Sa’id al-Mutawalli (w 478 H), Nashr al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu Ishaq at-Tunusi al-Maliki, Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H) pimpinan ulama madzhab Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi, dan Abu Bakar an-Nashih al-Hanafi.
e)      Angkatan Ke Lima
Di antaranya; Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi (w 508 H), asy-Syasyi, Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim yang dikenal dengan Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H), Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-Dibaji, Abu al-Abbas ibn ar-Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi Shalih al-Mu’adz-dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-Ashbahani, Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w 538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-Isfirayini, Nashrullah al-Mishshishi, Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar ibn Abd al-Barr al-Hâfizh, Abu al-Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn Asakir (w 571 H), al-Hâfizh Abu al-Hasan al-Muradi, al-Hâfizh Abu Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh Abu Thahir as-Silafi, al-Qâdlî ‘Iyadl ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533 H), Abu al-Fath Muhammad ibn Abd al-Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab al-Milal Wa an-Nihal, as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, as-Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang telah memerdekakan Bait al-Maqdis dari bala tentara Salib, al-Hâfizh Abd ar-Rahman ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi (w 597 H).
f)       Angkatan Ke Enam
Di antaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin al-Amidi (w 631 H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660 H), Amr ibn al-Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn Ahmad al-Hashiri (w 636 H) pempinan ulama madzhab Hanafi di masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn Daqiq al-Ied (w 702 H), Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin Sulaiman ibn Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib, Jamaluddin az-Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi penulis kitab Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal dengan at-Tafsîr al-Qurthubi (w 671 H), Syihabuddin Ahmad ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi, Syamsuddin ibn al-Hariri al-Hanafi, Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf an-Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w 676 H), al-Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H), al-Hâfizh Ahmad ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-Halabi (w 756 H), al-Hâfizh Shalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H), Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud ibn Umar at-Taftazani (w 791 H).
g)      Angkatan Ke Tujuh
al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H), Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-Akhyâr (w 829 H), Amîr al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Hâfizh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani; penulis kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 852 H), Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879 H), Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H), Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli (w 864 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis kitab tafsir Nazhm ad-Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf as-Sanusi; penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).
h)      Angkatan ke Delapan 
Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H), al-Hâfizh Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-Hâfizh Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H), Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani; penulis Irsyâd as-Sâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya al-Anshari (w 926 H), al-Hâfizh Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan al-Hâfizh Ibn Thulun al-Hanafi (w 953 H).
i)        Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya
Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H), Mulla Ali al-Qari (w 1014 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan al-Laqqani; penulis Nazham Jawharah at-Tauhîd (w 1041 H), Ahmad ibn Muhammad al-Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041 H), al-Muhaddits Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan nama Ibn Allan ash-Shiddiqi (w 1057 H), Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H), Muhammad ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122 H), as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad al-Hadlrami al-Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132 H), Muhammad ibn Abd al-Hadi as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138 H), Abd al-Ghani an-Nabulsi (w 1143 H), Abu al-Barakat Ahmad ibn Muhammad ad-Dardir; penulis al-Kharîdah al-Bahiyyah (w 1201 H), al-Hâfizh as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), ad-Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm al-Barâhîn (w 1230 H), Muhammad Amin ibn Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H). 

Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai sekitar abad 12 hijriyyah, dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila hendak kita sebutkan satu persatu, termasuk yang berada di bawah tingkatan mereka dalam keilmuannya, maka sangat banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya, siapa pula yang sanggup menghitung jumlah bintang di langit, membilang butiran pasir di pantai? kita akan membutuhkan lembaran kertas yang sangat panjang.[16]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
       Terminilogi Ahlusunnah wal jama’ah (As-waja) secara baku belum dijumpai dalam referensi lama (maraji’awwaliyyah). Bahkan pada masa Al-Asy’ari (w. 324 H) yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pendiri mazhab Ahlusunnal wal Jama’ah, belum juga ditemukan istilah tersebut. Pengenalan istilah tersebut sebagai suatu aliran dalam Islam baru nampak pada ashab al-Asy’ary atau sering disebut Asya’irah (Sunni).
       Meskipun demikian, pernyataan Aswaja sebenarnya barulah pada taraf ‘klaim’ saja. Sehingga sampai saat ini belum ditemukan definisi terminologi yang baku tentang Aswaja. Bahkan definisi tersebut juga belum ditemukan pada orang yang mengklaim dirinya Sunni. Definisi Aswaja yang sering diungkapkan  adalah ma ana ‘alaihi wa ashhab (terjemahan bebas:jalan yang kami tempuh). Tentu ini bukanlah definisi, karena cakupannya bisa diklaim oleh semua madzab dan aliran Islam yang ada di dunia.
       Secara garis besar, dapat ditarik kesimpulan bahwa Aswaaja adalah orang-orang yang memikimedote berfikir keagamaan yang mencakupsemua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, keseimbangan dan toleran. Definisi ini mungkin berlainan dengan definisi yang selama ini berkembang di masyarakat. Oleh karena itu reorientasite terhadap konsep Aswaja perlu dikaji kembali dengan tidak mengesampingkan sumbangan pemikiran dari ulama-ulama terdahulu.
       Disamping Aswaja, dalam kalangan Islam banyak dikenal faksi-faksi lain yang permunculannya disebabkan oleh gejolak yang terjadi dalam tubuh umat Islam sendiri.  Faksi-faksi tersebut diantaranya adalah: Syi’ah, Khawarij, jabariyah, Qadariyah Ula, Murji’ah, dan lain sebagainya.
       Dengan banyalknya faksi sebagai mana tersebut  di atas, diharapka tidak      menimbulkan perpecahan diantara umat islam sendiri yang justru merugika diri sendiri. Tetapi, mudah-mudahan perbedaan tersebut akan menimbulkan rahmad sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW ikhtilafu ummati rahmah dan sekaligus dapat memperluas wacana pemahaman ke-Islaman. Wallahu a’lamu bishawab.











DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Ahlusunnah wal Jama’ah (Yogyakarta:1998) hlm 30
Ibid . hlm 24-26-28-30-31-92-93-94-95
Muhammad Abdul Hadi Al Mishri, manhaj dan Aqidah Ahlusunnah wal Jama’ah (Jakarta:1992), hlm 86
Muhammad Abdul Hadi Al Mishri, Ahlusunnah wal Jama’ah (Surabaya: Central media). 1990, hlm 91
Muhammad Adnan, Ke-NU-an,(Semarang: 2009) hlm 23
http://abasawatawalla01, blogspot.co.id/2013/06/pemikiran-teologi-Ahl-al-Sunnah-wa-al. Html
http://id-id.facebook.com/notes/aqidah-ahlusunnah-Allah-ada-tanpa-tempat/tokoh-tokoh-ahlusunnah-wal-jama’ah-dari-masa-ke-masa/568553366494910


[1]Abdurrahman Wahid,Ahlus Sunnah Wal Jama’ah(Yogyakarta:1998)hlm.30
[2]Ibid hlm.30
[3]Muhammad Abdul Hadi Al Mishri,Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah,(Jakarta:1992),hlm.86
[4]Muhammad Adnan,Ke-NU-an,(Semarang:2009),hlm.23
[5]Ibid.hlm.24
[6]Ibid.hlm.26
[7]Ibid.hlm.28
[8]Ibid.hlm.30
[9]Ibid.hlm.31
[10]Muhammad Abdul Hadi Al-Misri,AhluSunnah Wal  Jama’ah,(Surabaya:Central Media),1990,hlm.91
[11]Ibid.hlm.92
[12]Ibid.hlm.93
[13]Ibid.hlm.94
[14]Ibid.hlm.95
[15]http://abasawatawalla01.blogspot.co.id/2013/06/pemikiran-teologi-ahl-al-sunnah-wa-al.html
[16] https://id-id.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/tokoh-tokoh-ahlussunnah-wal- jamaah-dari-masa-ke-masa/568553366494910

Tidak ada komentar:

Posting Komentar