BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Persoalan siyasah yang pertama yang dihadapi kaum muslimin setelah
Rasullullah wafat adalah suksesi politik. Sebagaimana dimaklumi, Rasulullah
tidak menentukan siapa yang akan menggantikannya dan bagaimana mekanisme
pergantian itu dilakukan. Oleh sebab itu, dalam sejarah Islam, dikenal bebagai
mekanisme penetapan kepala negara, dan tentu saja, dengan berbagai kriteria
yang sesuai dengan sosiohistoris yang ada. Dalam kasus Khulafa al-Rasyidiin,
sebagai contoh, Abu Bakar ditetapkan berdasarkan “pemilihan suatu musyawarah
terbuka”, Umar bin al-Khattab ditetapkan berdasarkan “penunjukan kepala negara
pendahulunya”, Usman bin al-Affan ditetapkan berdasarkan “pemilihan dalam suatu
dewan formatur”, dan Ali bin Abi Thalib ditetapkan berdasarkan pemilihan
melalui masyarakat dalam pertemua terbuka” (cf. Munawir). Kenyataan demikian
dimugkinkan oleh perubahan sosial-budaya dan dengan demikian menampilkan
karakter siyasah yang berbeda dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat. Berikut ini akan dipaparkan bagaimana siyasah
pada masa Khulafa al-Rasyidiin, bagaimana mereka menghadapi dan mengendalikan
masyarakat Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakter pemerintahan pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq?
2. Bagaimana karakter pemerintahan pada masaUmar bin Khattab?
3. Bagaimana karakter pemerintahan pada masa Usman bin Affan?
4. Bagaimana karakter pemerintahan pada masa Ali bin Abi Thalib?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pemerintahan
pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar dilahirkan dengan nama
Abdullah ibn Abi Qahafah, sebelum ia memeluk Islam, ia mendapat julukan dengan
nama Abdul Ka’bah. Setelah masuk Islam ia diberi nama oleh Rasulullah dengan
sebutan Abdullah. Sebutan lain baginya adalah Atik (artinya lolos/lepas).
Pemilihan Abu Bakar yang terjadi di
Saqifah tampak tidak berjalan mulus tanpa hambatan. Pemilihan Abu Bakar itu
tidak diterima oleh semua pihak. Pada bai’at Saqifah, yang disebut dengan
bai’at khusus, terdapat Sa’ad bin Ubadah yang sampai akhir hayatnya tidak mau
berbai’at.
Ketika kemudian dilakukan bai’at di
Masjid Nabawi, yang disebut bai’at umum, pihak-pihak yang tidak ikut membai’at
Abu Bakar dari kalangan Muhajirin adalah Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin
al-Abbas, Zubair bin Awwam bin al-Ash, Khalid bin Sa’id, Miqda bin Amr, Salman
al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, Ammar bin Yasir, Bara’ bin Azib, dan Ubay bin
Ka’ab.
Penentang Abu Bakar yang paling
keras dari kalangan Muhajirin Adalah Fatimah putri Rasulullah. Fatimah sangat
kecewa kepada Abu Bakar terutama karena tiga hal, pertama, Abu Bakar
meninggalkan Rasulullah tanpa segera dikuburkan, tetapi justru berebut
kekuasaan, kedua, Fatimah menuntut warisan Fadak, sebidang kebun di luar
Madinah, yang telah diberikan Rasulullah ketika masih hidup namun Abu Bakar
menolak memberikannya dengan alasan bahwa “para Nabi tidak mewariskan, dan yang
mereka tinggalkan adalah sedekah”, dan ketiga, Abu Bakar bertindak melewat
batas
dengan memerintah penyerbuan rumah Fatimah.
Pada waktu
terjadi bai’at di Masjid Nabawi, Abu Bakar mengucapkan pidato. Dari pidato Abu
Bakar, tampak adanya garis politik dan kebijaksanaannya, yaitu sebagai berikut:
a.
Bertekad untuk melaksanakan
prinsip-prinsip pemerintahan yang telah diletakkan oleh Rasulullah, yakni
melaksanakan syari’at Islam,
b.
Melaksanakan musyawarah,
c.
Menjamin hak-hak umat secara adil,
d.
Melindungi ketaatan rakyat terhadap
pemimpin selama pemimpin itu taat kepada Allah dan Rasulullah,
e.
Melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar,
f.
Mendorong terwujudnya kehidupan
takwa.
Tantangan pertama pemerintahan Abu
Bakar adalah menunjukkan kepada para penentangnya bahwa ia tampil sebagai
pemimpin untuk menyelamatkan umat Muhammad dari fitnah atau perpecahan internal
umat Islam dan tindakan murtad dari mereka yang masih lemah iman.
Pada masa ini, timbul
persoalan-persoalan yang tidak timbul pada masa Nabi. Oleh karena itu, terdapat
beberapa pemecahan masalah yang diambil oleh Abu Bakar, dan dalam hal ini dapat
dipandang sebagai fakta siyasah. Adanya kelompok masyarakat yang enggan
mengeluarkan zakat, karena zakat hanya wajib dikeluarkan pada waktu Rasul masih
hidup.
Sesudah Abu Bakar mampu
menghempaskan keinginan kaum pembangkang di Dzil Qassah, kaum muslimin berduyun-duyun
kembali membayar zakat. Mula-mula adalah Shafwan dan Zibriqan, tokoh-tokoh
masyarakat dari Bani Tamim. Disusul kemudian dengan Adi ibn Hatim ath-Tha’i
dari suku Tha’i. Kaum muslimin yang berada di Madinah merasa sangat yakin bahwa
Allah akan membantu khalifah Abu Bakar memerangi kemurtadan dan membela
kebenaran. Kecerdasan pikiran dan kematangan perhitungan Abu Bakar mampu
membaca situasi menguntungkan seperti ini. Ia bertekad untuk tidak memberikan
kesempatan dan ruang gerak musuh-musuh Islam. Mereka harus diperlemah
kekuatannya, supaya tidak memiliki kesempatan utuk menggoyahkan kesatuan kaum
muslimin.
2.
Pemerintahan
Umar bin Khattab
Umar bin
Khattab bin Nufail bin Abd al-‘Uzza in Ribah bin Abdullah bin Qurat bin Zuhrah
bin ‘Adi bin Ka’bah bin Luwayy bin Fihr bin Malik. Umar bin Khattab
diangkat menjadi khalifah melalui suara wasiat yang dibuat oleh Abu Bakar,
pengangkatan Umar ini diterima dengan baik oleh semua umat Islam ketika itu,
menurut Syibli, Umar menerapkan demokrasi, dan walaupun disebabkan oleh
kondisi-kondisi khas zaman itu prinsip tersebut tidak dapat dikembangkan dalam
semua aspek dan implikasinya, syarat-syarat yang esensial bagi suatu bentuk
pemerintahan yang demokratis telah dilahirkan.
Banyak
pengalaman dan ilmu yang diperoleh di daerah yang ditaklukkan oleh khalifah
Umar bin Khattab. Misalnya saja penaklukan Persia dan Bizantium.
Untuk
mengatasi persoalan tersebut, khalifah Umar bin Khattab mengambil
langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Membagi wilayah-wilayah taklukan
yang luas menjadi beberapa propinsi,
b.
Menyusun tata aturan dan tata tertib
pengaturan administrasi negara,
c.
Dibuat beberapa jawatan-jawatan
dalam mengatur pemerintahan.
Jawatan-jawatan
tersebut antara lain Jawatan Pos, Pengawasan Timbangan-timbangan Takaran,
Jawatan Pertahanan Negara, Baitul Mal, dan sebagainya.
Umar bin al-Khattab merupakan khalifah yang banyak sekali memberikan
contoh-contoh siyasah. Di antaranya penerapan bea impor, dan pada masa itu
berlaku atas dasar keseimbangan. Dalam hal ini seimbang dengan bea impor yang
dikenakan negara-negara nonmuslim kepada pedagan-pedagang muslim.
Di bidang
pemerintahan, langkah pertama yang dilakukan Umar sebagai khalifah adalah
meneruskan kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakar dalam perluasan wilayah
Islam ke luar Semenanjung Arabia. Pada masanya, terjadi ekspansi kekuasaan
Islam secara besar-besaran sehingga periode ini lebih dikenal dengan nama
periode Futuhat Al-Islamiyyah (perluasan wilayah Islam). Berturut-turut pasukan
Islam berhasil menduduki Suriah, Irak, Mesir, Palestina dan Persia.
Dalam melaksanakan kebijaksanaan
pemerintahannya, Umar membentuk kebijakan di berbagai bidang, antara lain:
a.
Administrasi Pemerintahan
Umar berjasa membentuk Majlis
Permusyawaratan, Anggota Dewan, dan memisahkan lembaga-lembaga peradilan. Ia
juga membagi wilayah Islam menjadi 8 propinsi yang membawahi beberapa distrik
dan subdistrik. Untuk masing-masing distrik itu diangkat pegawai khusus selaku
gubernur. Gaji mereka ditertibkan. Selain itu, administrasi pajak juga
dibenahi.
b.
Pertahanan
Untuk kepentingan pertahanan,
keamanan, dan ketertiban dalam masyarakat, didirikanlah lembaga kepolisian,
korps militer dengan tentara terdaftar.
c.
Peradilan Islam
Umar melakukan pembenahan peradilan.
Dialah yang mula-mula meletakkan prinsip-prinsip peradilan dengan menyusun
sebuah risalah yang disebut Dustur Umar atau Risalah al-Qodho’ yang kemudian
dikirimkan kepada Abu Musa al-Asy’ari, qodhi di Kufah, yang isinya mengandung
pokok-pokok penyelesaian perkara di muka sidang.
d.
Dalam Bidang Hukum
Dalam bidang
hukum, ijtihadnya adalah mengenai pembagian harta warisan, perumusan prinsip
kias, talak tiga, pendirian pengadilan-pengadilan, pengangkatan para hakim,
pemakaian cambuk dalam melaksanakan hukum badan, penetapan hukuman 80 kali dera
bagi pemabuk, pemungutan zakat atas kuda yang diperdagangkan, dan larangan
penyebutan nama-nama wanita dalam lirik syair, penentuan kalender hijriyah juga
merupakan hasil ijtihad Umar yang diabadikan sampai sekarang.
e.
Kesejahteraan Umat dan Peribadatan
Pemberian
gaji bagi para imam dam muadzin, pengadaan lampu penerangan dalam
masjid-masjid, pendirian Baitul Mal. Dalam hal ibadah antara lain mengenai
empat takbir dalam shalat jenazah, penyelenggaraan dalam shalat tarawih
berjamaah, penambahan kalimat as-shalat khoirun minannaum dalam adzan shubuh.
f.
Mekanisme Meningkatkan Pemerintah
Daerah
Umar
melengkapi gubernurnya dalam berbagai staf yang terdiri dari katib, Katib ad-Diwan,
Shahib al-Kharaj, Shahib al-Aldas, Shahib Baitul Mal, Qadhi, dll.
Dalam hal penunjukan pejabat dan pegawai-pegawai negara, Umar dianggap memiliki
kearifan dan pengertian yang mendalam serta kenegarawan yang tidak ada
persamaannya dalam sejarah, khususnya dalam menilai kapabilitas orang.
Umar pada masa pemerintahannya cukup banyak hal-hal baru yang
ditempuhnya.
Dalam bidang
munakahat, Umar menetapkan peraturan bahwa menjatuhkan talak tiga kali bermakna
hukum menjatuhkan talak tiga. Selain itu, Umar melakukan perubahan atas status
tanah Irak dan Syam yang didapat dari musuh menjadi tanah kharaj. Ia tidak
memotong tangan pencuri pada ‘am maja’ah (masa kelaparan) dan tidak memberikan
bagian kepada muallaf merupakan contoh-contoh lain dari kebijakannya sebagai
kepala negara.
Menjelang
akhir pemerintahannya dan juga akhir hayatnya, Umar bin Khattab membentuk dewan
formatur, yang anggotanya terdiri, Ali bin Abi Thalib, Usmanbin Affan, Thalhah
bin Ubaidillah, Zubair bin Awam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqaf.
Di samping keenam orang ini, Umar juga menunjuk Abdullah bin Umar selaku
penasihat dan tidak ditempatkan sebagai calon pengganti khalifah. Umar juga
menunjuk Abu Thalhah al-Anshari dari suku Khazraj sebagai pelaksana
perintahnya. Ia disuruh mengambil lima puluh orang anggota sukunya dengan
pedang di tangan untuk menjaga di pintu majlis pertemuan.
3.
Pemerintahan
Usman bin Affan
Usman bin Affan bin al-‘Ash bin
Umayyah bin Abd Syam bin Abd Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab
bin Luay bin Ghalib. Sebagaimana para pendahulunya, Usman bin Affan
berusaha menerapkan siyasah syar’iyyah sesuai dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi selama masa pemerintahannya, sesuai dengan janji yang diminta
Abdurrahman bin Auf ketika akan dibai’at, dan berjalan cukup efektif khususnya
pada masa enam tahun pertama pemerintahannya. Di samping melanjutkan kebijakan
Abu Bakar dan Umar, banyak pula hal lain yang dilakukan selama masa-masa ini
seperti perluasan wilayah, penaklukan-penaklukan negeri, perluasan masjid,
pembangunan sarana-sarana umum, penyusunan mushaf, dan lain-lain.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, Usman mulai “dikelilingi dan
dikendalikan” kaum kerabatnya terutama kalangan bani Umayyah, para kaum thulaqa
yang masuk Islam dalam kondisi yang tidak berdaya berhadapan dengan pasukan
Rasulullah yang sedang berada dalam puncak keberhasilannya pada waktu fathu
Makkah. Karena kebijakan Usman dalam menjalankan pemerintahan diarahkan
dan dikendalikan mereka, maka banyak yang menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan
Sunnah Rasul yang akibatnya membawa malapetaka bagi umat Islam bahkan bagi
Usman sendiri.
Usman sangat berbaik hati kepada kerabat-kerabatnya yakni dengan memberikan
uang, fasilitas, jabatan-jabatan penting, dan gaji besar dari yang diambil dari
Baitul Mal. Inilah nepotisme pertama dalam sejarah pemerintahan Islam, dan
karena nepotismenyalah maka Usman kehilangan nyawanya. Ketika kekuasaan itu
telah berpusat di satu tangan, maka berlakulah adagium Lord Acton, “power tends
to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”. Para pejabat pemerintahan
Usman banyak melakukan tindakan sewenang-wenang, yang menimbulkan ketidakpuasan
dan protes rakyat banyak serta menimbulkan kepahitan para sahabat senior
terutama para ahli Badar. Sesungguhnya yang menimbulkan protes bagi rakyat dan
para sahabat senior bukan semata-mata penumpukan kekuasaan pada keluarga Bani
Umayyah, tetapi karena perilaku para pejabatnya yang banyak bertentangan dengan
ajaran Islam.
4. Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Setelah
Usman meninggal dunia, ketika itu tiada pilihan lain untuk dijadikan khalifah
penerus Usman kecuali Ali bin Abi Thalib. Secara aklamasi, Ali dibai’at oleh
anggota “dewan formatur” bentukan Umar yang masih ada, kemudian diikuti secara
umum oleh umat Islam di Masjid Nabawi. Segera setelah memegang tampuk
kepemimpinan, naluri dan visi idealisme Qur’ani Ali mulai dicanangkan. Ali
menyingkirkan para pejabat korup dan penindas rakyat serta menyelidiki kekayaan
baitul maal yang telah diambil secara haram.
Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, situasi
politik sedang bergejolak, tentu saja, situasi demikian tidak memungkinkan
khalifah untuk mengupayakan pengaturan dan pengarahan kehidupan umat secara
leluasa. Pada masa ini terjadi peperangan antar muslim. Sekalipun khalifah
telah berusaha mempersatukan umat, namun situasi politik semakin memburuk.
Abdul Halim Mahmud mengatakan, “pada masa kekhalifahan
Ali yang singkat, beliau berusaha untuk membimbing manusia menuju akhirat,
tetapi mereka mengarah menuju dunia. Ali selalu dihadapkan pada pertentangan
dan peperangan. Meskipun demikian, Ali berusaha menjalankan pemerintahan sesuai
dengan sunnah Rasulullah, melanjutkan kebijakan dari para khalifah sebelumnya,
mereformasi pemerintahan, meletakkan dasar-dasar gramatika bahasa Arab,
memberikan khotbah-khotbah tentang ilmu agama, retorika, falsafah, dan tentang
kewajiban manusia kepada Tuhan.
Ali juga masih sempat memperkenalkan dan menerapkan
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, mengatur keamanan negara, membentuk lembaga-lembaga
seperti lembaga keuangan umum, pengadilan, tentara, demikian juga
strategi pada perang Siffin. Ia memerintahkan pasukannya agar tidak mundur dari
medan perang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keempat khalifah tersebut memiliki karakter pemerintahan yang
sama yaitu sesuai dengan sunnah Rasullullah, namun karena sosial budaya
menyebabkan adanya perbedaan karakter dari keempat khalifah tersebut. Banyak
hal yang dihadapi mereka yang tidak ada pada masa Nabi. Namun, mereka pun
melakukan ekspansi wilayah dan melakukan kebijakan-kebijakan yang membawa umat
Islam menjadi lebih baik.
Daftar
Pustaka
Ridwan, Fiqh Politik,2007,Yogyakarta:FH
UII PRESS
Al-usairy Ahmad,2003 Sejarah
Islam,Jakarta:AKBAR MEDIA
Djazuli,
H.A, Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Haikal,
Muhammad Husain, Biografi Abu Bakar as-Shiddiq.trj. Abdul Kadir Mahdamy,
Jakarta: Qisthi Press, 2007
http//pengajianislam.pressbooks.com
diakses 19/9/2016. Pkl 12:00
http//pengajianislam.pressbooks.com diakses 19/9/2016. Pkl 12:00
Muhammad Husain Haikal, Biografi Abu Bakar as-Shiddiq. Jakarta: Qisthi
Press.hlm.114-117