Kamis, 01 Desember 2016

ushul fiqh



BAB I
                                                              PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Al-Qur’an dan sunnahshahih telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syar’i, yang disyari’atkan oleh Allah SWT kepada umat terdahulu.  Setelah Rasul wafat yang memberikan fatwa kepada orang-orang pada waktu itu adalah para sahabat, karena mereka yang mengetahui Fiqih ilmu pengetahuan dan apa saja yang disampaikan oleh Rasululullah SAW. 
Dalam kehidupa sehari-hari kita tidak bisa luput dari kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang bersangkutan dengan moral dan etika. Banyak perbedaan dalam menyikapi sebuah kebiasaan. Disisi lain dalam keidupan sehari-hari kita juga terdapat berbagai maslahat/kebaikan yang terjadi. Namun, tidak semua kebaikan didukung oleh hukum syara’. Hal ini disebabkan perbedaan yang terjadi. Ada kebaikan yang didukung serta yang tidak didukung. Dalam hal ini akan dijelaskan perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi akan kebiasaan dan kebaikan tersebut.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apapengertian al-‘Urf?
2.      Apasaja macam-macam al-‘Urf?
3.      Apakedudukan al-‘Urf sebagai dalil syara’?
4.      Apa dasar hukum al-‘Urf?
5.      Apa pengertian Syar’u Man Qablana?
6.      Apa macam-macamSyar’u Man Qablana?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian al-‘Urf
     Dari segi etimologi Al-‘Urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’, dan fa’ yang berarti kenal. Dari kksts iini muncul kata ma’rifat (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata-kata (yang dikenal kabaikan), dan kata ‘Urf (kebiasaan yang baik).
     Sedangkan menrut terminologi kata ‘Urf sama dengan istilah al-Adah (kebiasaan) yaitu: sesuatu yang telah mantap didalam jiwa dri segi bahasa dapat diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.
 ‘Urf menurut ulama Ushul Fiqih adalah sebagai berikut: ‘Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya baik berupa perbuatan, perkataan ataupun meninggalkan sesuatu. Dan ini juga dinamakan adat. Dan dari kalangan ulama syariat tidak ada perbedaan antara ‘Urf dan adat.
Menurut Imam Al-Ghazali ‘Urf diartikan dengan keadaan yang sudah tetap pada jiwa manusia, dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh tabiat.
Kata ‘Urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secar terminology, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidah, istilah ‘Urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat Karena telah menjadi kebiasaaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan[1].
Oleh sebagian ulama Ushul Fiqih ‘Urf disebut adat (adat kebiasaan). Berarti ‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat pada suatu tempat tertentu, dan mereka menjadikannya sebagai tradisi. Misalnya akad jual beli dalam Fiqih Islam, akan sah jula beli tersebut apabila ada kalimat ijab qobul (serah dan terima). Namun karena menurut kebiasaan, tanpa adanya serah terimanya penjualan dianggap telah terjadi transaksi, maka jual beli tanpa ijab qobul jual beli sudah dianggap sah[2].
B.     Macam-macam al-‘Urf
Al- ‘Urf dapat dibagi atas beberapa bagian antara lain adalah sebagai berikut:
Ø  Ditinjau dari segi sifatnya, al-‘Urf dapat dibagi menjadi dua bagian antara lain:
1.      ‘Urf qauli
Adalah ‘Urf yang berupa perkataan, seprti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak termasuk didalamnya anaklaki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun (daging), menurut bahasa berarti daging, termasuk didalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan daging ikan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti daging binatang darat saja, tidak termasuk didalamnya daging binatang air (ikan).
2.      ‘Urf amali
Adalah ‘Urf berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual-beli. Padahal menurut syara’, shighat jual-beli itu merupakan salah satu rukun jual-beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual-beli tanpa shighat jual-beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara’ membolehkannya[3].
Ø  Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya, al-‘Urf dapat dibagi menjadi dua bagian antara lain:
1.      Urf yang shahih
Adalah sesuatu yang saling dikenal oleh manusia, dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan tidk pula membatalkansesuatu yang wajib. Sebagaimana kbiasaan mereka mengadakan akad jasa perbuatan (produksi). Kebiasaan mereka membagi maskawin kepada maskawin yang didahulukan dan maskawin yang diakhirkan penterahannya, tradisi mereka, bahwasanya seorang istri tidak akan menyerahkan dirinya pada suaminya kecuali telah menerima sebagian dari maskawinnya, dan kebiasaan mereka bahwasanya perhiasan dan pakaian yang diberikan oleh peminang kepada wanita yang dipinangnya adalah hadiah, bukan bagian dari pada maskawin.
2.      ‘Urf yang fasid
Adalah sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan dengan syara’, atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan, atau membatalkan sesuatu yang wajib. Misalnya, kebiasaan yang sudah dipahami dikalangan masyarakat tentang akad jual beli atau perjanjian-perjanjian yang mengandung riba. Kebiasaan memberikan (menyuap) sejumlah uang kepada hakim atau jaksa yang menangani suatu masalah atau perkara. Pekerjaan yang mengundang nilai judi misalnya kebiasaan taruhan ketika pertandingan sepak bola, pemilihan kepala desa, bupati atau lainnya. Kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat tersebut hukumnya haram, harus dijauhi kerena bertentangan dengan syara’[4].
Ø  Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya, al-‘Urf  dapat dibagi menjadi dua antara lain sebagai berikut:
1.      al- ‘Urf al-Amm
adalah kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dlam berbagai wilayah yang luas, misalnya membayar angkot kendaraan umum dengan harga tertentu.
2.      al-‘Urf al-Khash
adalah adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya kebiasaan masyarakat jambi menyebut kalimat “satu tumbuk tanah” untuk menunjukkan pengertian luas tanah 10x10 meter.



Ø  Ditinjau dari segi keabsahannya, al-‘Urf dapat pula dibagi menjadi dua bagian antara lain:
1.      al-‘Urf ash-Shahihah
adalahadat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum Islam. Misalnya kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak dikembalikan pihak laki-laki. Jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-laki daan sebaliknya jika yang membatalkan peminang adalah pihak wanita maka “hantaran” yang diberikan kepad wanita yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahnya kepada pihak laki-laki yang meminang.
2.      al-‘Urf al-Fasidah (‘Urf yang rusak/salah)
adalah kebiasaan mansyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan dali-dalil syara’. Sebaliknya dari al-‘Urf ash-Shahihah, maka adat kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan hal-hal yang haram, atau mengharamkan yang halal. Misalnya kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang buka muhrim dalam acara pertemuan pesta.

Berdasarkan macam-macam al-’Urf diatas, maka kebiasaan yang baik (shahih) haruslah dilestarikan atau dijadika metode penetapan hokum Islam, sedangkan kebiasaan yang (fasid) harus ditinggalkan karena bertentangan dengan hukum syara’

C.     Kedudukan al-‘Urf sebagai dalil syara’
      Adapun ke hujjahan al-‘Urf sebagai dalil syara’ didasarkana oleh argument-argumen  berkut ini:
1.      Firman Allah pada surat al-A’raf ayat 199

Artinya:
“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalainglah dari pada oranag-orang yang bodoh”
Melalui ayat diatas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf (perbuatan yang baik yang dikerjakan secara berulang-ulang) dan dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.

2.      Ucapan sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Mas’ut

Artinya:
“Sesungguhnya yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik disisi Allah dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk disis Allah”

Ucapan Abdullah bin Mas’ud adalah baik dari segi redaksi Maupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat Islam, adalah juga merupakan sesuatu yang baik disisi Allah[5]. 

D.    Dasar hukum al’Urf
Para ulama sepakat bahwa ’Urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara’. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bakwa ulama Madinah dapat dijadika hujjah, demukian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi’I terkenal dengan qaul qad5 im dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hokum yang berada pada waktu beliau masih berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘Urf. Tentu saja ‘Urf fasid tidak dijadikan  sebagai dasar hujjah.



E.     Pengertian Syar’u Man Qablana
Yang dimaksud dengan Syar’u Man Qablana, ialah syari’at yang dibawa oleh para Rasul dahulu, sebelu diutus Nabi Muhammad SAW, Yng menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya. Seperti syari’at Nabi Ibrahim AS, syari’at Nabi Musa AS, syariat Nabi Daud AS, syari’at Nabi Musa AS dan sebagainya.
Pada azasnya syari’an yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai azas yang sama dengan syari’at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang dinyatakan pada firman Allah SWT dalam surat Ash-Shura ayat 13 sebagai berikut:
Artinya:
“dia (Allah ) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang ia wajibkan kepada Nuh dan yang kami wajibkan kepadamu dan apa yang kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai  berai padanya… (QS. Ash-Shura, ayat 13)

Diantara azas yang sama itu ialah yang berhubbungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentaang qadha dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnyaada yang sama da nada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syari’at umat dahulu itu sama namanya, tetapi beda pelaksanaannya dengan syari’at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa, hukuman qishash, dan sebagainya[6].




F.     Macam-macam Syar’u Man Qablana
Sesuai dengan ayat diatas, kemudian dihubungkan antara syari’at Nabi Muhammad SAW dengan syari’at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentukya, yaitu:
1.      Syari’a yang diperuntukkan bagi orang-orang yang sebelum kita, tetapi Al-Qur’an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkan atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
2.      Syari’at yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.
3.      Syari’at yang berlaku bagi orang-orang sebelum kta, kemudian Al-Qur’an dan Hadits menerangkannya kepada kita.
Mengenai bentuk ketiga, yaitu syari’at yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita oleh Al-Qur’an dan Hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan sebagian ulama Hambaliyah berpendapat bahwa syari’at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan nafifiyah berpendapat bakwa membunuh orang dzimmi sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hokum itu berdasar pada surat Al-Maidah ayat 45. Mengenai pendapat golongan lain ialah menurut mereka dengan adanya syari’at Nabi Muhammad SAW, maka syari’at yang sebelumnya dinyatakan mansukh (tidak berlaku lagi hukumnya).
Mengenai bentuk kedua, para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah, sedang bentuk pertama ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari’at Nabi Muhammad SAW[7].


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
  Yang dimaksud dengan al-‘Urf  yaitu sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama Ushul Fiqih, al-‘Urf disebut adat (kebiasaan)sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara al-‘Urf dengan adat (kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian al-‘Urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan Syar’u Man Qablana yaitu syari’at yang dibawa oleh para Rasul terdahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW yabg menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari’at Nabi Ibrahim AS, syari’at Nabi Musa AS, syari’at Nabi daud AS, syari’at Nabi Isa AS dan sebagainya.











DAFTAR PUSTAKA
M. Zein satria Efendi, Ushul Fiqih, Jakarta kencana, 2008
Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta, PT. Pustaka Firdaus, 1994
 Drs.Muin Umar, Drs. H. Asymuni A. Rahman,Dr. H. Tholchah Mansoer, SH, Drs. H. Kamal Muchtar, Drs. Zahri Hamid, Drs. Dahwan, Ushul Fiqih, Jakarta, 1985.
Moh. Zuhri, Kitab Ushul Fiqih, Semarang, Dina Utama semarang, 1994
Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, Jakarta, Amzah, 2010


[1] M. Zein satria Efendi, Ushul Fiqih, Jakarta kencana, 2008. Hal 11
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta, PT. Pustaka Firdaus, 1994. Hal 45
[3]Drs.Muin Umar, Drs. H. Asymuni A. Rahman,Dr. H. Tholchah Mansoer, SH, Drs. H. Kamal MuchtarDrs. Zahri Hamid, Drs. Dahwan Ushul Fiqih, Jakarta, 1985.  Ushul Fiqih, Jakarta, 1985. Hal 151

[4] Moh. Zuhri, Kitab Ushul Fiqih, Semarang, Dina Utama semarang, 1994. Hal : 123

[5] Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, Jakarta, Amzah, 2010. Hal: 209
[6] Drs.Muin Umar, Drs. H. Asymuni A. Rahman,Dr. H. Tholchah Mansoer, SH, Drs. H. Kamal Muchtar, Drs. Zahri Hamid, Drs. Dahwan Ushul Fiqih, Jakarta, 1985. Ushul Fiqih, Jakarta, 1985. Hal 154

[7] Drs.Muin Umar, Drs. H. Asymuni A. Rahman, Dr. H. Tholchah Mansoer, SH, Drs. H. Kamal Muchtar, Drs. Zahri Hamid, Drs. Dahwan Ushul Fiqih, Jakarta, 1985. Hal: 155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar