BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Al-Qur’an dan sunnahshahih
telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syar’i, yang disyari’atkan oleh
Allah SWT kepada umat terdahulu. Setelah
Rasul wafat yang memberikan fatwa kepada orang-orang pada waktu itu adalah para
sahabat, karena mereka yang mengetahui Fiqih ilmu pengetahuan dan apa saja yang
disampaikan oleh Rasululullah SAW.
Dalam kehidupa
sehari-hari kita tidak bisa luput dari kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan
sehari-hari yang bersangkutan dengan moral dan etika. Banyak perbedaan dalam
menyikapi sebuah kebiasaan. Disisi lain dalam keidupan sehari-hari kita juga
terdapat berbagai maslahat/kebaikan yang terjadi. Namun, tidak semua kebaikan
didukung oleh hukum syara’. Hal ini disebabkan perbedaan yang terjadi. Ada
kebaikan yang didukung serta yang tidak didukung. Dalam hal ini akan dijelaskan
perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi akan kebiasaan dan kebaikan tersebut.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apapengertian al-‘Urf?
2.
Apasaja macam-macam al-‘Urf?
3.
Apakedudukan al-‘Urf
sebagai dalil syara’?
4.
Apa dasar hukum
al-‘Urf?
5.
Apa pengertian Syar’u
Man Qablana?
6.
Apa macam-macamSyar’u
Man Qablana?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
al-‘Urf
Dari segi etimologi Al-‘Urf berasal dari
kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’, dan fa’ yang berarti kenal. Dari kksts
iini muncul kata ma’rifat (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata-kata (yang
dikenal kabaikan), dan kata ‘Urf (kebiasaan yang baik).
Sedangkan menrut terminologi kata ‘Urf
sama dengan istilah al-Adah (kebiasaan) yaitu: sesuatu yang telah mantap
didalam jiwa dri segi bahasa dapat diterima oleh akal yang sehat dan watak yang
benar.
‘Urf menurut ulama Ushul Fiqih adalah sebagai
berikut: ‘Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya baik
berupa perbuatan, perkataan ataupun meninggalkan sesuatu. Dan ini juga
dinamakan adat. Dan dari kalangan ulama syariat tidak ada perbedaan antara ‘Urf
dan adat.
Menurut
Imam Al-Ghazali ‘Urf diartikan dengan keadaan yang sudah tetap pada jiwa
manusia, dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh tabiat.
Kata ‘Urf secara etimologi berarti
sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secar
terminology, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidah, istilah ‘Urf
berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat Karena telah
menjadi kebiasaaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan
atau perkataan[1].
Oleh sebagian ulama Ushul Fiqih ‘Urf
disebut adat (adat kebiasaan). Berarti ‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal
oleh masyarakat pada suatu tempat tertentu, dan mereka menjadikannya sebagai
tradisi. Misalnya akad jual beli dalam Fiqih Islam, akan sah jula beli tersebut
apabila ada kalimat ijab qobul (serah dan terima). Namun karena menurut
kebiasaan, tanpa adanya serah terimanya penjualan dianggap telah terjadi
transaksi, maka jual beli tanpa ijab qobul jual beli sudah dianggap sah[2].
B.
Macam-macam
al-‘Urf
Al- ‘Urf dapat dibagi atas beberapa bagian antara
lain adalah sebagai berikut:
Ø Ditinjau
dari segi sifatnya, al-‘Urf dapat dibagi menjadi dua bagian antara lain:
1.
‘Urf
qauli
Adalah ‘Urf yang
berupa perkataan, seprti perkataan walad,
menurut bahasa berarti anak termasuk didalamnya anaklaki-laki dan anak
perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak
laki-laki saja. Lahmun (daging),
menurut bahasa berarti daging, termasuk didalamnya segala macam daging, seperti
daging binatang darat dan daging ikan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari
hanya berarti daging binatang darat saja, tidak termasuk didalamnya daging
binatang air (ikan).
2.
‘Urf
amali
Adalah ‘Urf
berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat
akad jual-beli. Padahal menurut syara’, shighat jual-beli itu merupakan salah
satu rukun jual-beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
melakukan jual-beli tanpa shighat jual-beli dan tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan, maka syara’ membolehkannya[3].
Ø Ditinjau
dari segi diterima atau tidaknya, al-‘Urf dapat dibagi menjadi dua bagian
antara lain:
1. ‘Urf yang shahih
Adalah sesuatu
yang saling dikenal oleh manusia, dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak
menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan tidk pula membatalkansesuatu yang
wajib. Sebagaimana kbiasaan mereka mengadakan akad jasa perbuatan (produksi).
Kebiasaan mereka membagi maskawin kepada maskawin yang didahulukan dan maskawin
yang diakhirkan penterahannya, tradisi mereka, bahwasanya seorang istri tidak
akan menyerahkan dirinya pada suaminya kecuali telah menerima sebagian dari
maskawinnya, dan kebiasaan mereka bahwasanya perhiasan dan pakaian yang
diberikan oleh peminang kepada wanita yang dipinangnya adalah hadiah, bukan
bagian dari pada maskawin.
2.
‘Urf
yang fasid
Adalah sesuatu
yang sudah menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan dengan
syara’, atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan, atau membatalkan sesuatu
yang wajib. Misalnya, kebiasaan yang sudah dipahami dikalangan masyarakat
tentang akad jual beli atau perjanjian-perjanjian yang mengandung riba.
Kebiasaan memberikan (menyuap) sejumlah uang kepada hakim atau jaksa yang
menangani suatu masalah atau perkara. Pekerjaan yang mengundang nilai judi
misalnya kebiasaan taruhan ketika pertandingan sepak bola, pemilihan kepala
desa, bupati atau lainnya. Kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat tersebut
hukumnya haram, harus dijauhi kerena bertentangan dengan syara’[4].
Ø Ditinjau
dari segi ruang lingkup berlakunya, al-‘Urf
dapat dibagi menjadi dua antara lain sebagai berikut:
1.
al-
‘Urf al-Amm
adalah kebiasaan
yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dlam berbagai
wilayah yang luas, misalnya membayar angkot kendaraan umum dengan harga
tertentu.
2.
al-‘Urf
al-Khash
adalah adat
kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau
wilayah tertentu saja. Misalnya kebiasaan masyarakat jambi menyebut kalimat
“satu tumbuk tanah” untuk menunjukkan pengertian luas tanah 10x10 meter.
Ø Ditinjau
dari segi keabsahannya, al-‘Urf dapat pula dibagi menjadi dua bagian antara
lain:
1.
al-‘Urf
ash-Shahihah
adalahadat
kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan
hukum Islam. Misalnya kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat, hadiah
(hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak
dikembalikan pihak laki-laki. Jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-laki
daan sebaliknya jika yang membatalkan peminang adalah pihak wanita maka
“hantaran” yang diberikan kepad wanita yang dipinang dikembalikan dua kali
lipat jumlahnya kepada pihak laki-laki yang meminang.
2. al-‘Urf al-Fasidah
(‘Urf yang rusak/salah)
adalah kebiasaan
mansyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan dali-dalil syara’.
Sebaliknya dari al-‘Urf ash-Shahihah, maka adat kebiasaan yang salah adalah
yang menghalalkan hal-hal yang haram, atau mengharamkan yang halal. Misalnya
kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang buka muhrim dalam acara
pertemuan pesta.
Berdasarkan
macam-macam al-’Urf diatas, maka kebiasaan yang baik (shahih) haruslah
dilestarikan atau dijadika metode penetapan hokum Islam, sedangkan kebiasaan
yang (fasid) harus ditinggalkan karena bertentangan dengan hukum syara’
C. Kedudukan al-‘Urf
sebagai dalil syara’
Adapun ke hujjahan al-‘Urf sebagai dalil
syara’ didasarkana oleh argument-argumen
berkut ini:
1. Firman
Allah pada surat al-A’raf ayat 199
Artinya:
“jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalainglah
dari pada oranag-orang yang bodoh”
Melalui ayat
diatas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf (perbuatan
yang baik yang dikerjakan secara berulang-ulang) dan dibimbing oleh prinsip-prinsip
umum ajaran Islam.
2. Ucapan
sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Mas’ut
Artinya:
“Sesungguhnya
yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik disisi Allah dan sesuatu yang
mereka nilai buruk maka ia buruk disis Allah”
Ucapan Abdullah
bin Mas’ud adalah baik dari segi redaksi Maupun maksudnya, menunjukkan bahwa
kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku dalam masyarakat muslim yang sejalan
dengan tuntunan umum syariat Islam, adalah juga merupakan sesuatu yang baik
disisi Allah[5].
D.
Dasar
hukum al’Urf
Para ulama sepakat bahwa ’Urf shahih
dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara’. Ulama
Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bakwa ulama Madinah dapat dijadika
hujjah, demukian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa ulama Kufah dapat
dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi’I terkenal dengan qaul qad5 im dan qaul
jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hokum yang berada pada
waktu beliau masih berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada
di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah
dengan ‘Urf. Tentu saja ‘Urf fasid tidak dijadikan sebagai dasar hujjah.
E.
Pengertian
Syar’u Man Qablana
Yang
dimaksud dengan Syar’u Man Qablana, ialah
syari’at yang dibawa oleh para Rasul dahulu, sebelu diutus Nabi Muhammad SAW,
Yng menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya. Seperti syari’at
Nabi Ibrahim AS, syari’at Nabi Musa AS, syariat Nabi Daud AS, syari’at Nabi
Musa AS dan sebagainya.
Pada
azasnya syari’an yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai
azas yang sama dengan syari’at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW,
sebagaimana yang dinyatakan pada firman Allah SWT dalam surat Ash-Shura ayat 13
sebagai berikut:
Artinya:
“dia (Allah ) telah
menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang ia wajibkan kepada Nuh
dan yang kami wajibkan kepadamu dan apa yang kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan
janganlah kamu bercerai berai padanya…
(QS. Ash-Shura, ayat 13)
Diantara
azas yang sama itu ialah yang berhubbungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang
hari akhirat, tentaang qadha dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan
sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnyaada yang sama da nada yang
berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam
pada itu ada pula syari’at umat dahulu itu sama namanya, tetapi beda
pelaksanaannya dengan syari’at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa, hukuman
qishash, dan sebagainya[6].
F.
Macam-macam
Syar’u Man Qablana
Sesuai dengan ayat diatas, kemudian
dihubungkan antara syari’at Nabi Muhammad SAW dengan syari’at umat-umat sebelum
kita, maka ada tiga macam bentukya, yaitu:
1.
Syari’a yang
diperuntukkan bagi orang-orang yang sebelum kita, tetapi Al-Qur’an dan Hadits
tidak menyinggungnya, baik membatalkan atau menyatakan berlaku pula bagi umat
Nabi Muhammad SAW.
2. Syari’at
yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak
berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.
3. Syari’at
yang berlaku bagi orang-orang sebelum kta, kemudian Al-Qur’an dan Hadits
menerangkannya kepada kita.
Mengenai bentuk
ketiga, yaitu syari’at yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian
diterangkan kepada kita oleh Al-Qur’an dan Hadits, para ulama berbeda pendapat.
Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah,
dan sebagian ulama Hambaliyah berpendapat bahwa syari’at itu berlaku pula bagi
umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan nafifiyah berpendapat bakwa
membunuh orang dzimmi sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka
menetapkan hokum itu berdasar pada surat Al-Maidah ayat 45. Mengenai pendapat
golongan lain ialah menurut mereka dengan adanya syari’at Nabi Muhammad SAW,
maka syari’at yang sebelumnya dinyatakan mansukh (tidak berlaku lagi hukumnya).
Mengenai bentuk
kedua, para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah, sedang bentuk
pertama ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak
bertentangan dengan syari’at Nabi Muhammad SAW[7].
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Yang
dimaksud dengan al-‘Urf yaitu sesuatu
yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka
baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama Ushul Fiqih,
al-‘Urf disebut adat (kebiasaan)sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada
perbedaan antara al-‘Urf dengan adat (kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa
diartikan bahwa pengertian al-‘Urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat,
karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa
dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis,
sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Sedangkan
yang dimaksud dengan Syar’u Man Qablana yaitu syari’at yang dibawa oleh para
Rasul terdahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW yabg menjadi petunjuk bagi
kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari’at Nabi Ibrahim AS, syari’at
Nabi Musa AS, syari’at Nabi daud AS, syari’at Nabi Isa AS dan sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
M.
Zein satria Efendi, Ushul Fiqih, Jakarta kencana, 2008
Muhammad
Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta, PT. Pustaka Firdaus, 1994
Drs.Muin Umar, Drs. H. Asymuni A. Rahman,Dr.
H. Tholchah Mansoer, SH, Drs. H. Kamal Muchtar, Drs. Zahri Hamid, Drs. Dahwan, Ushul
Fiqih, Jakarta, 1985.
Moh.
Zuhri, Kitab Ushul Fiqih, Semarang, Dina Utama semarang, 1994
Abdul
Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, Jakarta, Amzah, 2010
[1] M. Zein satria Efendi, Ushul Fiqih, Jakarta kencana, 2008. Hal 11
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta, PT. Pustaka
Firdaus, 1994. Hal 45
[3]Drs.Muin Umar, Drs. H. Asymuni A. Rahman,Dr. H. Tholchah Mansoer,
SH, Drs. H. Kamal MuchtarDrs. Zahri Hamid, Drs. Dahwan Ushul Fiqih, Jakarta,
1985. Ushul Fiqih, Jakarta, 1985. Hal
151
[4] Moh. Zuhri, Kitab Ushul Fiqih, Semarang, Dina Utama semarang, 1994.
Hal : 123
[5] Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, Jakarta, Amzah, 2010. Hal: 209
[6] Drs.Muin Umar, Drs. H. Asymuni A. Rahman,Dr. H. Tholchah Mansoer,
SH, Drs. H. Kamal Muchtar, Drs. Zahri Hamid, Drs. Dahwan Ushul Fiqih, Jakarta,
1985. Ushul Fiqih, Jakarta, 1985. Hal 154
[7] Drs.Muin Umar, Drs. H. Asymuni A. Rahman, Dr. H. Tholchah Mansoer,
SH, Drs. H. Kamal Muchtar, Drs. Zahri Hamid, Drs. Dahwan Ushul Fiqih, Jakarta,
1985. Hal: 155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar